A Pathetic Girl with a Stubborn Boy Chapter VI
Author : Parasarimbi
Genre : Romantic
Length : Chapter by Chapter (belum ada rencana sampai chapter berapa)
Cast : Manami as Donna
Taka
Toru
Ryota
Tomoya
Disclaimer : Cerita punya saya, tapi tokoh bukan punya saya.
Note : Saya ga nyangka ternyata fanfic One Ok Rock yang ini banyak yang nungguin lanjutannya. Haduhhh saya jadi terharu. Trimakasih ya kawan-kawan penikmat Fanfic di kapanmainlagi.
Enjoy!
“Cerita tentang bajingan itu tak
akan kuperpanjang, aku sudah malas. Kali ini aku ingin mengatakan tentang suatu hal penting. Sangat penting yang
harus kau ketahui kebenarannya”
Aku tak menjawab apapun. Mataku
menerawang ke depan kaca mobil, terlihat pemandangan yang sangat hijau.
Menyejukkan.
Kemudian Taka melanjutkan...
“Aku tahu kau pasti akan benci
mendengar hal ini tapi cerita sebenarnya harus kau ketahui”
Sekilas aku menoleh penuh tanya
menanti cerita seperti apa yang akan ia utarakan kemudian aku memalingkan wajah
lagi,
“Ini tentang keluargamu”
“Aku tak punya keluarga.” Batinku.
“Ibumu...”
“Apalagi ini...”
Aku menanti tiap kata dari Taka
yang terbata-bata
“Ibumu... dia...”
“Dia meninggal dibunuh Ayahku. Selesai. Tak
perlu dibahas lagi, atau aku akan menangis lagi tiap malam selama tiga puluh
hari” Ucapku masih dalam hati
“...................”
Kata-kata yang akan dikeluarkan
Taka serasa tertahan dimulutnya. Aku menoleh lagi kearahnya agar segera
mengucapkan apa yang hendak ia katakan. Taka menelan ludah karena jakunnya
terlihat naik turun.
“Cepat Katakan” Tak sabar sekali menanti.
.
.
“Ibumu meninggal karena bunuh diri!” Ujar Taka.
.
.
Aku menoleh menatap erat wajah
Taka dengan penuh rasa keterkejutan. Ini cerita kelam yang tidak ingin kuingat
dan sebenarnya tak akan mau kubahas lagi. Sungguh aku benar-benar sangat
terkejut, ini tidak mungkin. Aku
membantah perkataan Taka dengan menggeleng-gelengkan kepalaku cepat.
“Tidak.. tidak mungkin..., Ayah
yang membunuhnya! Ayah membunuhnya dan Ibu meninggal karena Ayah! Tidak
mungkin!” Aku membantah perkataan Taka.
“Manami....!”
“Kau jangan mengarang cerita! Kau
salah ! Ibu meninggal karena Ayah. Ayah yang membunuhnya!!!”
Aku berteriak histeris di dalam
mobil. Aku memukul-mukul dashboard mobil dengan tanganku. Aku mulai terbawa
emosi. Emosi jiwa yang bergejolak. Emosi yang ada dalam dasar hati yang mengendap
bertahun-tahun dan siap untuk dimuntahkan keluar seperti gunung yang meletus.
Kata-kata Taka seakan tak bisa dicerna otakku. Alam bawah sadarku menolak apa
yang Taka ucapkan.
“Manami... !!! Dengarkan aku !!!
Manami....!!!”
Taka berteriak tak kalah lantang.
Tangannya sibuk menghentikan aksi kedua tanganku yang sedang memukul-mukul
dashboard mobil. Hingga saat kedua tangannya berhasil mendapatkan kedua tanganku,
dihadapkannya tubuhku ke arahnya.
“Manami... Lihat mataku, aku
tidak akan bercerita tentang fairy tale yang hidup bahagia selamanya. Ini
realita yang harus dihadapi... Hey.. Manami, tatap mataku...” Perkataan Taka
sedikit melunak melihatku seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Aku masih
memejamkan mata tak mau menatap matanya.
“Manami, bukalah matamu... tatap
mataku.” Taka memaksaku untuk menatap matanya.
Isakanku makin menjadi, aku
mencoba membuka mata dan melihat ke arah bola mata Taka berada kemudian saling
mengunci tatapan mata dengan Taka. Hanya beberapa detik, setelahnya air mataku
seakan mengalir tanpa henti dengan isakan yang membuat tubuhku berguncang.
Taka tak tinggal diam. Taka
merengkuh tubuhku, memeluknya hangat. Dipeluknya erat tubuhku yang lunglai
dengan tangannya. Kubenamkan wajahku di dadanya hingga kaos yang dikenakannya
basah karena air mataku.
“Menangislah..menangislah
sebanyak yang kau mau. Keluarkan semua kesedihanmu dan aku akan tetap
bersamamu.”
Taka membisikkan kalimat yang
entah mengapa membuatku merasa sejuk. Berbeda saat beberapa waktu yang lalu ia
menunjukkan kemarahannya dengan mengemudi mobil serampangan dan memukul setir
mobil. Rasanya nyaman sekali dan aku ingin berlama-lama di pelukannya, dan... Hey
! Aku baru menyadari sudah lama aku tak
merasakan kasih sayang dari siapapun karena aku sendiri yang menolaknya.
Cukup lama aku berada dalam
dekapannya. Kami masih saling membisu dan sama sekali tak ingin mengucapkan
beberapa patah kata. Air mataku seakan tak mau berhenti mengalir, kaos berwarna
abu-abu yang dipakai Taka pasti sudah sangat basah. Aku masih ingin
menyembunyikan wajahku di dada Taka. Seolah mengerti, Taka pun tak melonggarkan
dekapannya. Taka masih memelukku erat.
“Ta... Taka....”
Aku menyela
“Hmm...?”
“Aku ingin jendela ini dibuka, aku ingin
bernafas. Rasanya sesak sekali”
Taka melonggarkan pelukannya, tanpa
bersuara Taka tidak membuka jendela mobil, namun dia malah membuka pintu mobil
yang tadinya terkunci.
“Keluarlah....” Ujar Taka
“Heh ?” Aku menggumam dan meminta
Taka mengulang ucapannya.
“Keluarlah dan bernafaslah sesuka
hatimu.” Sahut Taka.
Aku dan Taka saling menatap,
“Baiklah....”
Kemudian aku pun keluar dari
mobil, melangkah menuju sisi jembatan
yang dibawahnya adalah aliran sungai kecil yang dangkal namun mengalir air yang jernih. Tanganku berpegangan erat pada besi
pembatas jembatan. Aku menghirup udara yang sejuk ini
dalam-dalam. Beberapa kali kuhirup udara yang seperti biasa kuhirup, namun ada
perasaan lain. Rasa sesak seperti dihimpit oleh batu besar di dadaku. Aku tidak
bisa bernafas dengan baik. Aku teringat Ibu dan Ayah saat masih harmonis, namun
sekarang hanya kenangan semata yang terbayang di benak.
Ku angkat wajahku keatas dan
memejamkan mataku. Sesaat kemudian aku membuka mata kembali dan menoleh ke arah
mobil berada. Tanganku terkepal sangat kuat. Sebenarnya aku merasa bernafsu sekali
untuk berteriak, tapi tak mungkin karena ada Taka yang matanya tak pernah lepas
untuk mengawasi gerak-gerikku dari dalam mobil. Entah kenapa aku tidak bisa
melakukan sesuatu yang biasa selalu kulakukan tanpa harus sungkan terhadap
orang lain. Entah apa sebabnya.
Tak berapa lama terdengar pintu
mobil ditutup, dan tiba-tiba sosok Taka hadir disampingku. Ia menyodorkan air
mineral padaku.
“Minumlah, agar kau lebih tenang”
Aku menerimanya tanpa kata dan
meminumnya seteguk dua teguk hingga tanpa terasa habis tak bersisa. Sepertinya
energiku sangat terkuras oleh tangisanku.
“Sepertinya kau benar-benar
haus...” Taka menunjukkan sudut bibirnya yang tertarik keatas, menunjukkan
senyumnya terlihat di satu sisi.
Benar kata Taka, setelah minum
air mineral ini hatiku sudah mulai merasa tenang kembali.
“Terimakasih..” Ucapku tulus.
“Hmm..”
Kami berdiri berdampingan dengan
jarak tak lebih dari satu meter, mata kami sama-sama terarah pada aliran sungai
yang jernih di bawah jembatan. Seolah hanyut dalam gerakan air yang selalu
mengalir.
Kami terdiam.
,
,
“Bolehkah aku melanjutkan
kembali...?”
Taka mulai membuka suara.
Aku tertunduk sembari memainkan
jari-jariku, berpikir matang dan kemudian berkata lemah seakan tak ada tenaga,
“Lanjutkanlah...” Ucapku
“Kau yakin?” Taka memastikan
“Aku yakin. Sangat yakin.” Ucapku
pelan sambil mengangguk keras.
Kudengar Taka menghela napas
lambat, Kemudian ia memulai kembali cerita yang sempat terputus di
tengah-tengah..
“Ayahmu tak pernah membunuh
Ibumu, Ibumu lah yang membunuh dirinya sendiri...”
“Tapi... tapi bagaimana bisa? Aku melihat
sendiri tangan ayahku berlumuran darah saat itu. Ia pasti membunuhnya...” Kilahku.
Masih tak percaya.
“Manami... Justru Ayahmu mencoba menyelamatkan nyawa
Ibumu dengan mencabut pisau itu tapi naas, Ibumu tak tertolong...”
Taka memegang erat pegangan besi
jembatan.
“Awal petaka adalah Ayah dan Ibumu
bertengkar karena Ibumu mengetahui bahwa Ayahmu mempunyai wanita simpanan. Hingga
akhirnya Ibumu nekat mengakhiri nyawanya sendiri karena merasa terkhianati.”
“Beruntung aku tak bunuh diri
karena dikhianati...” Ucapku sambil tersenyum sinis.
Taka tak merespon ucapanku. Ia
kembali bercerita..
“Siang itu, Ayahmu pulang dari
kantor karena telepon mendesak dari Ibumu yang memaksa untuk segera pulang
kerumah. Terjadilah kembali pertengkaran hebat dan dengan tiba-tiba Ibumu mengambil
pisau yang ada didapur dan menusukkannya keperutnya sendiri.”
Taka terlihat
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ayahmu mencoba mencegah, namun
terlambat. Ibumu tak tertolong karena darah sudah banyak yang keluar dari
tubuhnya. Dengan panik Ayahmu berlari keluar meminta pertolongan para
tetanggamu tapi mereka salah paham. Tetanggamu mengira Ayahmu lah yang membunuh
Ibumu hingga akhirnya yang kau lihat saat itu Ayahmu tengah diborgol oleh
polisi bukan?”
Aku mengangguk pelan.
“Aku masih tak percaya, bagaimana
bisa Ayahku berkhianat pada Ibuku yang jelas-jelas mencintainya sampai mati...”
Aku mengarahkan pandanganku jauh
di cakrawala.
“Apakah semua lelaki seperti itu?”
Aku menggumam.
Sesuatu yang hangat menyentuh
punggung telapak tanganku. Taka.
Taka menggenggam tanganku erat.
“Tidak semua Manami, jangan kau
anggap semua lelaki itu sama. Karena nyatanya tiap watak dan emosi kami para
laki-laki berbeda kadarnya.”
Aku menyela,
“Lantas... Bagaimana bisa hidupku
mengalami pengkhianatan seperti ini? Dua pengkhianatan dari laki-laki yang
kucintai dan satu wanita yang kusayangi? Dua berbanding satu, berarti
pengkhianatan terbesar dilakukan oleh kaum laki-laki...”
“Kujelaskan satu lagi, Ayahmu
memang pernah mempunyai wanita simpanan. Tapi itu jauhhh sekali sebelum kau
lahir, dan Ibumu memang tidak mengetahui
hal itu. Dan ketika Ayahmu tahu Ibumu mengandung kau, Ayahmu memutuskan
hubungan dengan wanita simpanan nya itu. Hingga tiba-tiba wanita simpanan
Ayahmu itu muncul kembali setelah belasan tahun dan membuat semuanya menjadi
tragedi.”
Taka mendekat kearahku kemudian
kami berdiri berhadapan,
“Ayahmu memang berbuat kesalahan. Di masa lalu tapi.. bukankah Ayahmu sudah menebus kesalahannya dan membina
keluarga yang sangat harmonis bukan?”
Kutatap mata Taka saat dia
berbicara, ia balas menatapku.
“Jika kau mengalami kejadian
sangat buruk dimasa lalu, itu adalah takdir yang akan menuntunmu ke masa depan
yang sangat indah. Yakinlah dan percayalah akan hal itu.” Ujar Taka.
“............”
Aku membisu.
Entah kenapa air mataku melesak
keluar dengan sendirinya,
Greeppp
Taka meraih tubuhku lagi dan
memeluk hangat.
“Menangislah Manami, dan
berteriaklah jika kau ingin berteriak. Aku akan selalu ada bersamamu selama kau
mau....” Taka membisikkan lagi kata-kata ajaibnya.
Tangisku semakin menjadi-jadi. Perasaan
apa ini...
Siapa kau sebenarnya Taka? Kau
tahu banyak tentang hidupku dan keluargaku. Kenapa kau tiba-tiba datang dan
mengusik masa laluku? Walaupun begitu aku sama sekali tidak mengingatmu di masa
lalu. Siapa kau?
.
.
“Boleh kutahu siapa kau
sebenarnya Taka?”
.
.
.
“Aku... Aku adalah.... “
Aku adalah BERSAMBUNG....
Yeayyy....
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Akhirnya chapter VI posting juga, kurang panjang ya. Emang sih. Ya harap maklum ya dikarenakan mepetnya waktu saya ini. Hingga akhirnya Fanfic morita takahiro ini berjalan kurang mulus alias chapter berikutnya munculnya lama. hehehehe.
Tapi semoga besok-besok waktunya ga terlalu padet jadi bisa sekalian bikin efef chapter 7 secepatnya. okay...
Sebenernya ada yang minta efef Tomoya sih tapi masih ada di draft, ide buntu masih belum bisa nyelesaiin. Tar deh ya kalo udah free banget mau nyelesain ff Tomoya nya.
Oh iya buat Cheza, efef rikuesan kamu udah nyantol dikepala nih, tinggal diketik aja. hehehe.
NB : Ada yang mau rikues efef? inbox aja atau mention di twitter.
.
.
Sudah malam sekali saya mau tidur dulu ya, besok masih kerja.
.
.
Good Nite.
.
.
Kapan-kapan Main Lagi ya...
.
.
Yaaaayyy, sugeeeeeee ^___^
BalasHapusJadi gak sabar nunggu chapter berikutnya :)
Hallo Iva !
HapusSalam kenal.
Hehe, trimakasih sudah membaca.
Chapter selanjutnya tunggu ya, mungkin besok udah publish :D
Aseeekkkk..
HapusAku panggil apa nih, mbaa, teteh, atau kakak? hoho.
Hahahahaha, panggil apa aja boleh kok asal jangan dipanggil mas. wkwkwkwkwk
Hapustapi biasanya sih dipanggil mbak :D