Sabtu, 23 Agustus 2014

Fanfiction One Ok Rock Me, Myself and I




Author : Parasarimbi / Me

Genre : NC 18+, 

Lenght: Oneshoot

Main Cast : Tebak sendiri.

Disclaimer : The story belong to me :D
fanfiction ini hanya fiktif belaka, jadi jangan dianggep beneran.

Warning ! :
Gore, Sadistic, Kekerasan.
Buat yang masih dibawah umur 17tahun kebawah lebih baik ga usah baca deh, ada adegan kekerasannya soalnya. Dan juga yg ga suka cerita gore-gore an lebih baik juga gausah baca ya. Kasian jantung kamu. :D

“I may look calm, but in my mind..have kill you many times”


Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi pada kehidupanku. Pada takdirku dan pada semua yang kulalui. Aku hanyalah seorang anak lelaki yang sedang tumbuh remaja dan penuh dengan pemikiran yang belum stabil dan rasa keingintahuan yang besar. 

Apakah kau merasakan yang kurasakan? Saat aku dipaksa oleh orang-tuaku menjadi artis cilik? Yang mana aku sangat tidak menginginkannya sama sekali. Karena keinginan itu milik orang tuaku, bukan milikku. 

Apakah kau merasakan yang kurasakan? Saat aku sudah menjadi seorang artis cilik yang terkenal hingga seluruh Jepang, kau pikir mungkin dengan kehidupan artis ini menyenangkan. Namun tidak bagiku. Semuanya seperti neraka. Hidupku dibawah pengawasan ketat, penuh tekanan dan penuh dengan aturan. Ekspektasi tinggi yang berlebihan yang membuatku muak, karena aku tidak bisa hidup dalam kepura-puraan untuk selalu tampil sesuai harapan. Harapan orang tuaku yang status keduanya adalah “Japan Sweetheart” karena lagu-lagu yang dilantunkannya tersebar dan terkenal hingga pelosok negeri ini.

Apakah kau merasakan yang kurasakan? Saat mendengar orangtuaku memutuskan untuk bercerai, rasanya aku menyesal terlahir diantara mereka. Apakah mereka sama sekali tidak menyadari jika ada dua bocah yang sangat tidak menginginkan hal ini terjadi. Siapapun tidak ingin melihat kedua orangtua yang merawatnya sejak kecil berpisah. Jika mereka berpisah, lantas aku mendapatkan kasih sayang seperti apa? Apa mereka tak bisa menghilangkan rasa egoisnya demi aku dan adik laki-laki ku yang tak mungkin hidup hanya dengan satu orang tua saja.

Apkah kau merasakan yang kurasakan? Saat aku mengalami depresi yang sangat hebat di usiaku yang cukup muda seperti ini. Aku ingin lari dari kenyataan, aku ingin sekali merubah semuanya sesuai keinginanku. Namun apa dayaku, karena aku hanya seorang anak laki-laki yang beranjak remaja. Aku melakukan apapun demi menarik perhatian kedua orangtuaku. Rengekan dan bujukan takkan mungkin didengar mereka. 

Apakah kau merasakan yang kurasakan? Saat kabar buruk yang berhembus bahwa skandalku dengan seorang wanita yang sedang berfoto bersama dalam satu ranjang itu menimpaku. Hey, aku memang bermain-main dengan wanita tapi foto itu tidak benar ! Lelaki didalam foto itu terlalu tua jika disamakan dengan sosokku. Aku masih belasan dan lelaki itu sudah lebih kepala dua (setidaknya itu yang kulihat dari penampilannya di foto). Bagaimana dengan foto berciuman dengan seorang gadis? Yah  aku benci mengatakan ini namun harus kuakui bahwa foto itu memang benar fotoku bersama pacarku. Aku harus punya pacar karena aku butuh kasih sayang! Kasih sayang yang harus kudapatkan ketika orangtuaku sibuk dengan urusannya di ruang sidang perceraian.

Apakah kau merasakan apa yang kurasakan? Ketika aku disidang oleh bos besar di manajemen yang menaungi grup vokalku, mereka mengatakan aku sudah melakukan kesalahan fatal dan merusak nama baik grup vokalku. Keputusan yang menyakitkan itu sudah ditetapkan. Aku resmi keluar dari grup itu, meninggalkan kedelapan teman-temanku disana. Ayahku memarahiku habis-habisan dan mengatakan aku adalah anak yang tak berguna, terlebih lagi ia mengatakan tak akan menganggapku lagi sebagai anak.  Dan lebih menyakitkan lagi adalah setelah keluar dari grup aku juga keluar dari sekolahku dan berpindah kesekolah lainnya. Aah... habislah aku.

Apa kau merasakan apa yang kurasakan? Ketika dunia seolah mengarah benci kepadaku. Semuanya menyalahkanku atas semua kenakalan yang kuperbuat. Mereka tidak tahu betapa terpuruknya aku menghadapi semua sendirian, aku kasihan terhadap adikku Hiro. Ia belum tahu apa-apa sama sekali dengan semuanya. Aku mengkhawatirkan jika adikku memiliki trauma masa kecil yang berakibat buruk di masa mendatang.
Kalian mungkin tak merasakan yang kurasakan karena aku sendirilah yang merasakan itu semua. 

Sendirian.

Sebesar apakah kesalahanku? Aku hanya seorang remaja biasa yang menginginkan masa-masa bahagia di usia semuda ini untuk kujadikan bekal dan pengalaman hidup di masa menuju kedewasaanku. Kalau seperti ini aku harus bagaimana? Ibuku pun terlalu sulit untuk kuandalkan, ia masih terpuruk dan menangisi perpisahan dengan ayahku. Ah.. aku masih punya Hiro.. 

Hiro... adikku. Terimakasih karena kau telah hadir di dunia setelahku. Setidaknya aku memiliki seseorang sebagai penyemangat hidupku. 

Dengan sisa-sisa asa dan harapan aku melanjutkan hidupku yang sudah terseok-seok dan hancur. Aku menjalani semua walau cibiran dari orang-orang masih terarah kepadaku. Besok adalah hari pertamaku masuk sekolah baru. Aku ingin membuang kenangan yang buruk itu dan menggantinya dengan segala kesenangan-kesenangan yang akan datang.
.
.
.
.
.
Hari pertama aku masuk sekolah

Teman-temanku menyambut baik dengan kehadiranku di kelas, mereka mengenalku sebagai salah satu anggota boyband Jepang. Tapi berkali-kali pula aku mengoreksi kata-kata mereka untuk merubah kata anggota menjadi mantan anggota. Setidaknya para gadis-gadis yang memperlakukanku dengan baik dan sangat ramah, walaupun berbeda dengan anak laki-laki yang memperlakukanku dengan sangat menyebalkan. Mereka berkata bahwa aku ini seorang banci karena bernyanyi dan berjoget-joget seperti wanita. Aku sangat ingin mendatangi mereka dan meninjunya satu persatu, namun akal sehatku lebih kuat mengalahkan nafsu setan yang sempat bergelayut mesra di pikiranku.

Selama beberapa kali mengikuti pelajaran dengan guru yang berbeda, akhirnya aku menemukan seorang guru yang cukup memuakkan. Berkali-kali ia menyindirku dengan mengatakan seorang remaja harus bisa mengendalikan tingkah lakunya dan memendam sisi liar yang biasa terjadi pada para remaja.  Guru berkacamata itu juga mengatakan bahwa tak sepantasnya seorang anak artis berkelakuan buruk dan membuat nama baik orang tua tercoreng. Darahku mendidih, namun aku masih bisa berpikir sehat. Dia adalah seorang guru yang semestinya harus kuhormati.

Setelah pelajaran dari guru berengsek itu akhirnya aku bisa bernafas lega. Terbebas dari seorang guru lelaki yang memiliki mulut yang cukup tajam seperti pedang katana yang dimiliki para pendekar samurai. Kata-katanya memang tidak melukai tubuhku namun melukai hatiku. Dan itu sangat sakit.

Hari berganti-hari aku menikmati hidupku seperti layaknya remaja lainnya. Tanpa embel-embel sebagai artis juga tanpa aktifitas keartisan. Aku serasa anak remaja biasa sama seperti anak remaja lainnya dikelas ini. Sayang sekali, meskipun mereka ramah namun aku sama sekali tak memiliki teman dikelas ini. Aku merasa terbuang dikelas ini, apalagi ketika mengetahui sebagaian besar diantara mereka membicarakan keburukanku. Aku memergoki mereka sedang berbisik-bisik dan menceritakan segala permasalahanku yang mereka tidak tahu seperti apa yang sebenarnya. Mereka sangat sok tahu dan seolah mengetahui semuanya hanya karena kabar dari media.

“Jadi semua temanku disini hanyalah manusia berwajah topeng?” Pikirku dalam hati.
Baiklah, kita bertemu lagi di kelas Guru Yamada. Guru berkacamata yang sangat hobi mengataiku didepan teman-temanku ketika pelajaran dalam kelas berlangsung. Sebenarnya apa masalahmu terhadapku? Kenapa kau gemar sekali membicarakan hal buruk yang terjadi padaku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?

Pelajaran masih berlangsung dan guru itu masih mengoceh tentang hal tidak penting. Ingin rasanya aku maju kedepan kelas dan meludahi guru itu. Biar dia tahu bahwa semua yang dibicarakannya hanyalah sekedar sampah.  Dan omongan sampah tidak perlu didengarkan.
Yuta. Anak laki-laki ini juga senang sekali membuat ulah agar berurusan denganku. Dari mulai meletakkan permen karet bekas kunyahan di bangku tempatku duduk kemudian menjegal langkahku saat aku maju kedepan kelas untuk mengerjakan jawaban dari soal di papan tulis. Aku masih bersabar dan terus bersabar walaupun ia dan gerombolannya masih mencoba untuk mengganggu ketenanganku.

Pelajaran hari ini.. ah aku benci sekali bila bertemu dengan pelajaran hari ini. Terlebih lagi bertemu dengan guru bermulut pedang itu. ingin rasanya aku melarikan diri dan tak mengikuti kelasnya. Lagi. Ia kembali mengoceh tentang seorang remaja yang sama sekali tak menuruti perintah orangtuanya dan membuatnya diusir dan tak dianggap sebagai anak oleh ayahnya. Lagi-lagi dia membicarakanku.

Terlebih seluruh kelas juga mulai berbisik-bisik dan sebagian anak lelaki meneriakkan kata-kata yang kurang pantas untuk didengar. Aku menutup telinga dari suara-suara ini namun semakin aku menutup telinga semakin keras suara mereka terdengar di telingaku.
Setelah setengah jam waktu yang terbuang sia-sia hanya demi mendengarnya melukai hatiku akhirnya aku berontak.

Aku bangkit dari kursiku dan berjalan cepat menuju depan papan tulis. Aku berteriak lantang kepada semua siswa lain dan guru yang masih ada di dalam kelas untuk tidak berusaha keluar dari kelas. Semua harus tinggal dalam kelas. Harus ! 

“Jika ada yang masih berani keluar dari kelas, aku akan mengejar kalian dan akan terus mengejar kalian hingga kudapatkan dan kuhabisi saat itu juga!” Teriakku.

Guru Yamada keparat hanya ternganga menyaksikan aksiku yang sedemikian rupa. Ia pasti tak menyangka murid pendiam sepertiku menyimpan suatu pribadi yang menyeramkan. Dia mencoba mendekatiku dan berbaik denganku. Sementara murid-murid perempuan bergerombol menjadi satu di salah satu sudut belakang kelas dengan wajah ketakutan. Mereka tak berani bersuara. Siswa laki-laki memecah menjadi beberapa kelompok, ada yang terlihat sangat ketakutan dan ada yang berusaha untuk sok pemberani.

“Taka... apa yang kau lakukan? Kau menakuti teman-temanmu.” Hardik Guru Yamada keras.

“Diam kau brengsek!!!”Pekikku keras sembari  mengangkat sebuah kursi dan melemparnya kearah Guru sialan itu. 

Braaaaaaak!!!

Kursi yang melayang itu tepat terarah ke lengannya dan sedikit mengenai dahinya hingga kucuran darah segar mengalir dari sana. Aku puas!

Kulihat Guru itu mengusap darah dengan kemeja putih lengan panjang yang ia kenakan. Ia benar-benar gugup melihat tingkahku yang seperti diluar batas kesadaran. Berkali-kali ia mencoba menenangkan siswa-siswa di dalam kelas. Namun ada beberapa siswa yang merasa sok jagoan mencoba mendekati dan menghentikan aksiku. Ia merangsek maju dan mencoba meraih lenganku namun aku lebih cepat. Dengan tangan kecilku, aku berhasil meninju mukanya. Ia tersungkur. Dan sesaat kemudian dia mencoba bangkit dan berbalik memukulku. 

Tapi aku lebih cepat.

Pisau ini lebih cepat merobek perutnya. 

Seluruh kelas berteriak histeris. Termasuk guru keparat itu. Aku tersenyum senang.
Dengan nafsu yang sangat besar, kugeserkan mata pisau ini mengarah ke perut sebelah kanannya. Darah membasahi seragam siswa yang bernama Keito yang notabene adalah ketua kelasku. Dengan tubuh Keito yang sekarat, kucabut pisau yang sudah berlumuran darah dari perutnya yang robek besar. Keito ambruk dengan tubuh terlentang dan ususnya terburai keluar. 

Suara histeris makin menggema ditelingaku, kebanyakan siswi perempuan mulai menangis dan berteriak minta tolong. Siswa laki-laki mulai gentar, mereka tak bisa berkutik. 

Bagus!

Kini giliranmu guru keparat!

Mungkin pisau ini sangat menyakitkan untukmu, namun aku hanya ingin kau tahu bahwa hatiku lebih sakit karena koyakan di hatiku semakin menganga akibat mulut tajamnya.
Perlahan-lahan kulangkahkan kaki menuju Guru Yamada yang terpojok di sudut ruang kelas sebelah kanan depan di dekat jendela di lantai 3. Wajahnya menyiratkan ketakutan yang teramat sangat, wajahnya pucat pasi dan kudengar dia menggumam berkali-kali.

“Taka, jangan lakukan ini kepadaku. Aku ini Gurumu...”

“Kau pikir aku peduli huh?” Ucapku sinis.

Langkahku terus melaju mendekat. Guru Yamada meraih apapun yang ada didekatnya. Buku. Ia lemparkan buku tebal itu kearahku berusaha untuk menghalangi jalanku untuk merobek kulitnya dengan pisau yang sudah memakan korban. 

Samar-samar kudengar langkah kaki dan pintu kelas yang tergeser sedikit. Dengan masih menghadap Guru Yamada, aku mengancam siswa yang mencoba melarikan diri keluar dari kelas.

“Kalian ingat apa yang kukatakan tadi? Jika ada yang mencoba keluar dari kelas ini akan kukejar dan kubunuh seketika!”

Sepertinya nyali mereka menciut dengan ditutupnya kembali pintu kelas itu dan langkah cepat siswa berlari ke sudut belakang kelas. Aku bisa melihatnya dari sudut mataku tanpa menoleh ke arah mereka.

“Bagus! Kalian memang teman yang baik. Teman yang penurut.” Pandanganku masih terarah pada Guru sialan ini dan seringai licik terlihat dari bibirku.

Suasana kelas sungguh mencekam. Sebagian gadis-gadis memohon untuk menghentikan aksiku sambil menangis penuh penyesalan. Menyesal karena pernah membicarakanku huh?

“Sekarang.. giliran kau Guru yang baik... Akan kubuat lidahmu yang tajam itu menjadi tak berguna dan teronggok di sebuah toples yang akan kuawetkan dan kuletakkan di ruang biologi sekolah...” Perlahan-lahan aku berjalan dan makin mendekati Guru Yamada, aku tahu ia sangat ketakutan dan masih mencoba berpikir keras untuk melarikan diri dariku.

Aku bisa melihat tangannya meraba-raba tembok bagian kanan dan menggeserkan badannya pelan-pelan menuju jendela yang terbuka. Aku makin tertarik melihat apa yang dilakukan Guru Yamada dan sementara masih kutunggu hingga pergerakan selanjutnya. Kau tahu aku sangat senang melihat pemandangan seperti ini, melihat wajah ketakutan dan teriakan mengemis penuh permintaan maaf.  Aku sangat suka !

Aku semakin mendekat dan guru sialan itu pun semakin menggeserkan badannya menuju jendela. Kau mau kabur lewat jendela itu huh? Silahkan dengan senang hati aku akan melihatmu mati kesakitan di bawah sana...

“Taka... sadarlah! Taka !!!”

“Diam kau keparat!!! Aaaaaarrrrrghhhhhhh” Tanpa sadar emosiku memuncak dan aku semakin ingin menancapkan pisauku tepat di jantungnya. Aku berjalan setengah berlari untuk mencapai sosok tubuh ringkih yang menunggu mati itu namun aku kalah cepat. Sesuai dugaanku ia akan hancur dibawah sana... Tubuh yang gagah itu seolah tinggal menunggu tercabik oleh burung gagak. Darah berwarna merah pekat itu keluar sangat cepat dari kepala dan tubuh yang baru saja bercumbu dengan lembutnya tanah aspal dibawah sana. Aku melihat dari jendela dan merasa seolah akulah pemenangnya dan tubuh dibawah sana adalah pecundang. Masih ada belasan orang-orang dibelakang sana yang menanti giliran untuk merasakan bilah pisau yang sudah memakan satu korban, namun kenapa suara guru brengsek itu masih terngiang ditelingaku. Bukankah dia sudah mati dibawah sana...

“Taka... bangunlah!!!”

Seseorang mengguncang bahuku keras. Mataku terbuka perlahan-lahan...
Aku masih bisa melihat laki-laki cerewet ini masih di depan kelas tepat di depan papan tulis berwarna hijau dan masih penuh coretan kapur tulis. Kulihat sekeliling dan belasan pasang mata terarah padaku dengan pandangan menyedihkan. Oh... rupanya aku hanya tertidur lelap dan berilusi bahwa aku sudah melakukan sesuatu yang nyata pada kelas ini dan ternyata semua hanya dalam tidurku saja.

“Jika kau masih ingin mengikuti kelasku silahkan ikuti dengan baik! Kau pikir kelasku hotel!” Hardiknya sambil membenahi letak kacamatanya.

Aku mengucek sedikit mataku yang masih dirasa buram, dan sedikit menguap tak perduli. Oh ternyata aku hanya tertidur dan bermimpi. Kupikir yang tadi itu kenyataan dan aku sudah sangat gembira tapi ternyata huh....

“Jadi... kau yang tadi tidur. Sekarang jawab soal di papan tulis !” Hardiknya sambil memberi perintah layaknya kaisar. 

Aku menatapnya malas. Tak mau beranjak dari bangku yang kududuki dengan manis ini. Kali ini aku mencoba untuk sedikit memberontak padanya. Dengan tangan yang menopang dagu aku hanya melihatnya di depan kelas dengan pandangan datar dari tempatku berada.
Sepertinya reaksi yang kuharapkan muncul. Guru itu mulai terpancing dan terlihat emosi di matanya. 

“Cetakkkk..”

“Awh....” aku mengerang perlahan. Kapur putih itu mengenai dahiku cukup keras. Aku masih bertahan dalam posisiku. Aku baru akan mengusap dahi yang terkena lemparan kapur dari depan kelas dan tiba-tiba...

“Plukkkk..” Kapur kedua mendarat lagi mengenai lenganku, kali ini tak terlalu keras.

‘Ah brengsek!’ Umpatku dalam hati.

Aku menatap tajam ke depan kelas, Guru itu memegang cukup banyak kapur yang akan dilempar kearahku.  Kulihat ia melinting lengan kemeja sebelah kanannya. Seperti bersiap untuk memulai suatu permainan. Sementara siswa satu kelas hanya melihat kami seperti sebuah drama yang bagus dan sayang untuk dilewatkan. Mereka seolah menikmati kami.

Kau ingin bermain lempar-lemparan denganku sensei? 

Kau yakin? 

Bagaimana jika kita bermain lempar kapur – pisau. Kau melempar kapur padaku dan aku melempar pisau padamu? Bagaimana?

Terdengar menyenangkan bukan?

Baiklah...

“Jika kau masih ingin duduk disana dan tak segera maju ke depan kelas dan mengerjakan soal-soal ini, kau akan kuhukum!”

Menghukumku?

Hukuman apa?

“Baik sensei...” Aku berujar seolah tak memperdulikan ancamannya. Kau tahu aku punya rencana lain...

Langkah demi langkah kupijak untuk sampai kedepan kelas. Aku memperhatikan jalanku agar tak ada seorangpun bisa menjegal kakiku. Dengan kepala menunduk aku semakin mendekat kearah Yamada sialan itu. Orang yang didepan sana hanya menatapku dengan tatapan sinis. Aku tahu itu dari sikap dan matanya ketika melihatku. Aku selalu tahu dan aku selalu mengingatnya. Disini. Di balik tempurung kepalaku.

Aku semakin dekat kearahnya, kepalaku mendongak dan melihatnya mengulurkan tangannya. Oh baik sekali Guru itu memberikan tangannya untukku tapi ternyata aku melihat sesuatu di atas telapak tangannya. Kapur.

Aku mengulurkan tangan kiriku dan menggenggam cepat pergelangan tangan Yamada sialan. Dan secepat angin pula aku menggoreskan sebuah pisau lipat kecil yang tersimpan rapi di saku celanaku. 

“Sratccccccchhhhhhhhhhh.....”

Darah mulai mengalir dan mengucur deras dari tangannya. Teriakan dari Yamada disambut dengan pekikan seluruh siswa di kelas ini. Kudengar teriakan pilu keluar dari bibir Yamada, sepertinya aku menggoresnya terlalu dalam. Ahh atau mungkin aku mengirisnya?

Yang  jelas aku puas dan sangat menyenangkan bisa melakukan hal seperti ini. Hal yang serupa seperti yang terjadi di mimpi yang kualami sebelum guru sialan itu membangunkanku. Perasaan yang indah melihat darah semakin mengalir deras, suara penuh kesakitan dan pekik ketakutan. Semuanya menyenangkan... ha ha ha ha....

“Taka...!!!!”

Seseorang menarik rambutku keras.

“Arrrrrghhh....!”

Mataku kembali terbuka. 

Ah! Mimpi lagi!

Kupikir yang barusan itu nyata !

“Jika kau masih saja tertidur di kelas lebih baik kau kuantarkan ke ruang  kepala sekolah saja !” 

Yamada mengancamku lagi. Terserah kau saja Yamada. 

Aku juga bisa mengancam seperti yang kau lakukan padaku.

“Baik. Aku minta maaf....” Ucapku lirih...

Eh...??? apa kataku tadi?

Minta maaf ?

Ah itu pasti bukan aku yang berbicara. Bukan bukan....

“Baiklah...” Hela napas dari Guru itu terdengar berat. “Kau maju kedepan kelas dan kerjakan soal yang sudah kutulis di papan tulis.”

Aku sedang sibuk dengan pikiranku saat Guru Yamada berbicara, jadi aku tak terlalu mendengarkan apa yang ia bicarakan.

“Taka.... Kau mendengarku? Kau baru saja minta maaf dan kau melakukan kesalahan lagi?” Guru Yamada berkacak pinggang dengan pongahnya.

“Baik Pak maafkan aku...”

Aku maju kedepan kelas dengan malas. Beberapa dari teman-temanku berusaha untuk menjegal, tapi aku sudah berhati-hati jadi aku bisa melewati kaki-kaki kotor mereka. dan ada beberapa dari mereka melempariku dengan kertas yang sudah digulung kecil hingga mengenai kepalaku.  Kalian benar-benar membuatku muak.

Aku sudah menghadap papan tulis dan menyelesaikan soal-soal yang sudah tertulis rapi disana. Tanpa kusadari tanganku menulis kalimat yang aku sendiri tak bisa mengendalikannya. Seolah bergerak tanpa kugerakan. Namun aku senang bisa menuliskannya disini. Di depan guru dan teman-teman sekelasku.

Begitu kalimat ini selesai kutulis suasana kelas yang riuh menjadi lengang dan tak bersuara. Hanya hela napas berat yang bisa kudengar. Aku sudah berhenti menulis, namun aku masih berdiri menghadap papan tulis dan tak melakukan hal apapun. Bibirku menyungging sebuah senyuman. 

Senyuman?

Seringaian lebih tepatnya.

Aku berbalik hendak kembali ke tempat dudukku. Mencoba melihat reaksi ‘guru kesayanganku’ aku melihat wajahnya. Wajahnya tampak sangat pucat pasi. Ia tak mampu berkata apapun  sedangkan matanya masih terpaku pada tulisan yang kubuat dipapan tulis.
Bagaimana dengan teman-temanku?

Ah begitulah reaksi mereka. Sama halnya seperti Guru Yamada yang hanya diam membisu penuh keterkejutan. Aku senang sekali melihat mereka seperti itu. Wajah pasi dengan mulut yang terbuka lebar seolah baru saja melihat sebuah penculikan oleh UFO.

Aku merasa aku menang. 

Semoga mereka tak mengulangi perbuatan mereka padaku. Jangan sampai mimpi-mimpi disiang bolong yang kupikir nyata itu berbuah menjadi kenyataan yang betulan. Hingga aku melenggang santai kembali di tempat dudukku, mereka sama sekali tak berkutik dan hanya mengeluarkan lenguhan napas tak nyaman. 

Bagaimana rasanya?

Menyenangkan?

Hahahaha... 

Kini aku bisa dengan tenang mengikuti pelajaran tanpa gangguan. Aku merasakan hawa menyenangkan dengan suasana yang baru ini. Seringaian masih membentuk di sudut bibirku.
Masalahku sudah selesai.
.
.
.
Oh iya...

Apa kau penasaran apa yang kutulis di papan tulis?

Benarkah?

Baiklah? Akan kuberitahukan padamu apa yang kutulis disana.


I may look calm, but in my mind.. have kill you many times.

Aku baru saja bermimpi membunuh Guru Yamada ratusan kali, dan aku juga bermimpi membunuh dan menyiksa teman sekelasku ratusan kali. Kalian tak menginginkan ini terjadi bukan?

Jangan ganggu aku!!!


Tamat
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Wohooo, saya balik lagi dengan ff yang berbeda lagi.
Sebenernya ini ff lama kok cuman belum sempet saya publish aja karena belum ada kesempatan. Oh iya gimana menurut kalian level cerita ini?
Kurang sadis?
Cukup sadis?
Sadis?
Sadis banget?
Hahahaha eniwei maaf ya buat yang masih dibawah umur kalo masih ngeyel baca dan jerit-jerit sendiri gegara baca nih ff penulis ga tanggung jawab ya.. kan udah dikasih warning itu :D
Okedeh, saya mau bobok dulu ya. Sampe ketemu di ff selanjutnya..
Selamat malam
.
.
.
Terimakasih Sudah Berkunjung.
.
.
.
Kapan-kapan Main Lagi ya...
.
.
.

14 komentar:

  1. GRRREEEAAATTTT.....
    AMAAAAZIIIING....
    FANTASTIC......
    COOOOLLLL....

    BalasHapus
  2. gak pengen jadi silent reader ah,gatel nih pengen nulis komentar :)))
    gilakk nih mbak dapet ide darimana sih ?? gak biasa baca ff ncnya oor yang sadis kek gini xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aihh Wahyuni, lama tak bersua, kangen deh :D
      ciyeeeh, silent reader tobat. hahaha jadi rame ada komen baru lagi hehehe

      inspirasi dateng dari berita-berita pembunuhan hahahahaha.
      gimana rasanya pas baca? merinding gak? kalo aku kayak udah ga kuat lagi nulisnya.. merinding gilak.. hahahaha

      Hapus
  3. ahahaha.. malah tambah seneng aku mbak Taka jadi psikopat tambah greget !!!
    bagus deh mbak feelnya dapet :)) lain kali castnya babang toru yaaa :') lagi pengen banget nih baca yang babang Toru..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha GREGET !
      Alhamdulillah kalo dapet komen bagus, Ada kritik saran lagi ga?

      Oh mau request Babang Toru? boleh boleh.
      Aku masukin antrian dulu ya :D

      Hapus
  4. Untung taka hanya mimpi, kan sayang cakep2 jd pembunuh..
    hehehehe
    tapi ceritanya K E C E badai,
    yaaahh, walau agak sadiss.. -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Ninaaaaaaaaaaa makasih udah mampir komen :D

      Hapus
  5. wahahaha gak sih mbak 100 % udah bagus kok :D
    ditunggu lho yaa babang Toru muncul di ffnya mbak xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. wuidih..... 100%..
      hehehehe makasih banyak ya atas penilaiannya. Semoga nanti bisa ngasilin crita yg lebih bagus lagi.
      Oke deh tunggu aja ya

      Hapus
  6. Hmm ... saya termasuk penggemar thriller dan komentar saya buat ff ini sadis sch. Cuma saya kok gak kebayang sadisnya. Sebelumnya mau nanya dulu dch, nie pertama kali author bikin genre kayak gini? Soalnya tulisannya rapi (teratur) cuma ya itu lah, kurang terasa efek sadisnya. Padahal motong perut pake pisau itu sadis bgt lho hihihi


    Itu aja dch komentar saya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Butter Cream

      Oh kamu penggemar thriller ya.
      Iya ini pertama kalinya saya bikin genre yang kayak gini. Menurut saya emang kurang sih karena porsi sadisnya memang ga terlalu kentara. Karena saya nulis itu sambil bayangin dan memang saya terlalu 'penakut' untuk mengeksplor kesadisannya.
      Jadi maaf ya kalo menurut kamu kurang nendang ff nya :D hehehe

      Eh tapi makasih loh udah mau mampir, baca dan komen.
      Salam kenal dari saya.

      Hapus
  7. Syukurlah hanya mimpi.. aku pikir bneran taka robek2 perut temennyaaa .____.
    Great story sukaa sukkaa
    Ohyaa salam kenal yaa.. ijin baca ffnyaa xD
    Hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal lokets71
      Silahkaaaaan....... silahkan dibaca ff nya. semoga suka ya :D

      Hapus

Feel free to comment... silahkan....