With You
Author : Parasarimbi
Genre : Friendship
Lenght : Twoshoot
Cast : Taka, You/Me
Disclaimer : Story is Mine
~~~~~~~~~~
Tringgggg.
Ponselku berbunyi menandakan
pesan masuk, kubuka flip ponsel dan kubaca nama pengirimnya,
Taka
“Posisi?”
“Tempat biasa”
Tak ada balasan.
Aku sedang duduk di sofa panjang
di kafe yang biasa kujadikan tempat sumber inspirasi ku menulis. Kafe favorit
bercat biru turqoise yang hampir setiap hari ku kunjungi ini memiliki dua
lantai dan sangat nyaman. Dengan harum lemon dari semprotan pewangi ruangan
menambah rasa yang membuatku betah berlama-lama disini. Kafe ini mempunyai
balkon di lantai dua yang mempunyai view yang cukup bagus. Dengan pandangan
mengarah ke sungai selebar 8 meter ini menambah suasana yang tak bisa
kujabarkan. Tidak terhalang oleh gedung pencakar langit dan tidak bising. Aku
suka menulis apa saja dan tentang apa saja. Semua yang ada dipikiran maupun
cerita dari orang lain kutuangkan dalam sebuah rangkaian kata. Di sela
kesibukanku menulis, aku memanggil seorang pelayan dan memesan sesuatu.
Sekitar 10 menit kemudian,
seorang laki-laki berambut keriting dengan wajah yang ditutupi masker berwarna
putih. Memakai celana panjang jeans berwana hitam dan kaos polos berwarna hitam
yang dibalut jaket berwarna senada. Tanpa berkata apapun ia langsung duduk
mengambil tempat di sebelahku, sambil melepaskan masker dan meletakkan tas
ranselnya di kursi sofa seberang tempat kami duduk.
Kulihat kegusaran diwajahnya,
wajah masam dan mendung. Seperti yang sudah-sudah...
“Ada apa dengan wajahmu?”
Taka hanya terdiam murung
memandang kedepan dengan tatapan kosong.
“Hei, aku tidak bicara dengan
sofa. Aku bicara padamu...”
“Hmmmmmmmm!” Taka berdehem sebal.
Ia melipat kedua tangannya kedada ~ bersedekap.
“Biar kutebak? Pasti tentang
gadis, ya kan?” Aku melihat ke arah Taka seolah-olah aku mencari sesuatu di
wajahnya. Hanya tiga titik hitam di pipi sebelah kanan yang kutemukan.
Wajah Taka semakin masam.
Aku tersenyum dengan sudut kiri
bibirku dan sedetik kemudian tawaku meledak.
Hahahahahahahhaha....”
Taka mendecak kesal sambil
menatapku tak suka.
“Naluriku mengatakan...., jika
tidak ditolak hahaha... pasti kau diputuskan. Hahahahahaha .”
“Diamlah, ini tempat umum.” Taka
menghardik sambil melihat sengit kearahku masih dengan tangan bersedekap.
Aku masih tertawa terbahak-bahak
sedangkan beberapa pengunjung kafe melihat dengan penuh keheranan ke arahku dan
Taka. Mungkin dalam pikiran mereka kami berdua ini pengunjung yang tidak tahu
sopan santun karena membuat kegaduhan di tempat umum. Tapi siapa peduli jika
sedang menemukan suatu hal yang lucu dan bisa membuat tertawa keras, apa kita harus menahan tawa hingga tersiksa?
Taka membekap mulutku dengan
telapak tangannya agar aku berhenti tertawa. Ia terlihat tidak enak karena
beberapa pasang mata pengunjung mengarah ketempat kami duduk.
“Hey, pengunjung lain terganggu
dengan tawamu !” Hardik Taka dan masih mencoba menutup mulutku.
“Kalau kau tertawa lagi aku akan
pulang.” Ancam Taka sambil melototkan matanya kearahku.
Aku terkekeh geli dan meraih
tangan Taka yang menutupi mulutku dan melepaskannya pelan.
“Memang yang menyuruhmu datang
kemari siapa?” Kuarahkan tanganku ke hidungnya dan mencubitnya pelan dan hanya
beberapa detik.
“Kau apakan hidungku. Aahhh kau
menyebalkan.” Taka mendesah pasrah sambil menampik tanganku kemudian menyandarkan
kepalanya di sandaran sofa sembari terpejam. Sepertinya moodnya kali ini lebih
buruk dari sebelumnya, tapi itu masih asumsiku saja. Akan lebih baik jika
mengetahuinya langsung darinya daripada hanya mengira-ngira.
“Haha, yasudah maafkan aku. Kau
pasti kesini karena butuh hiburan kan?” Tatapanku kembali mengarah ke layar laptopku
meskipun aku berbicara pada Taka.
“Entahlah, aku hanya ingin
menyendiri dan diam. Merasakan kesedihanku saat ini.”
“Menyendiri katamu, ini tempat
umum dan lumayan ramai. Kalau kau ingin menyendiri seharusnya kau dikamarmu dan
kau bebas untuk menangis semalaman.”
“Menyendiri disini dengan di
kamar itu berbeda.”
“Berbeda? Maksudmu?” aku berhenti
mengetik namun dengan tatapan masih mengarah ke layar laptop.
“Yahh menyendiri di kamar tak
bisa membagi bebanku pada siapapun, berbeda dengan disini bersamamu. Aku seolah
bisa berbagi beban padamu meski tanpa sepatah kata keluar dari mulutku.” Masih
dengan mata terpejam Taka mengeluarkan segenap perasaan yang ada dalam hatinya.
Aku menoleh ke arah Taka dan
tersenyum menatapnya walau ia tak tahu. Aku tak memberi komentar apapun.
Pandanganku beralih pada seorang pelayan yang sedang lewat dan memberi sebuah
kode dengan tanganku. Pelayan itu hanya mengangguk dan berlalu menuju dapur
kafe. Tak berapa lama pelayan laki-laki itu datang dan memberikan segelas
coklat hangat dengan asap yang masih mengepul ke mejaku. Aku menepuk lengan
Taka beberapa kali agar ia membuka matanya dan meminum coklat hangat yang telah
kupesan untuknya.
Taka membuka mata, melihat
sekitar untuk mengadaptasi mata yang beberapa detik lalu terpejam. Setelahnya
ia meraih cangkir berisi coklat hangat dan meniupnya pelan, setelah beberapa
kali teguk ia meletakkan kembali cangkir itu ke meja.
“Padahal aku belum memesan
sesuatu..” Taka bersungut-sungut kemudian meraih ponsel yang ada di saku hoody
nya, mengutak-atik sebentar dan diletakkan di atas meja dekat dengan cangkir
coklat hangat yang baru saja diminumnya.
“Tapi... terimakasih, kau memang
sangat memahamiku.” Lanjutnya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya,
masih dengan menatap layar laptopku. Seolah-olah aku sedang tersenyum pada
laptop. Taka meraih bantal kecil berbentuk segi empat yang ada di sofa yang
tergeletak di kursi seberang dan meletakkan bantal itu diatas pahaku. Aku
kembali mengetik dan membiarkan kepala Taka yang bersandar di pahaku yang sudah
diberi bantal sofa diatasnya. Ia bertingkah seolah kafe ini rumahnya dengan
tidur dengan kaki melintang di sofa panjang. Aku tahu ia sedang mengalami hal
yang buruk sehingga menyebabkan ia tidak bersemangat malam ini.
Aku bertemu dengan Taka semenjak
kami berdua masih sama-sama menjadi mahasiswa baru tujuh tahun yang lalu. Saat
membuat tugas kelompok yang beranggotakan 7 orang, aku dan Taka termasuk
didalamnya. Hal itu tak membuat aku dan Taka menjadi langsung akrab, selama dua
tahun kami hanya berteman biasa dan tak memiliki kedekatan khusus. Mengobrol
singkat ketika bertemu dan saling menyapa dari kejauhan ketika secara tak
sengaja berpapasan.
Dan setelah dua tahun dengan area
“pertemanan biasa” akhirnya aku dan Taka bisa bersahabat lebih dekat ketika
sebuah peristiwa tidak menyenangkan yang dialami oleh Taka.
Aku tak sengaja mendengar secara
langsung seorang gadis yang lumayan terkenal di kampus ini membicarakan seorang
laki-laki yang sedang dekat dengannya. Saat itu aku baru masuk di toilet wanita
hendak menuju wastafel untuk mencuci mukaku yang sedikit berminyak sehabis berlari-lari di koridor
gedung kampus demi tidak terlambat mengikuti mata kuliah. Namun kenyataannya
dosen berhalangan hadir, dan aku memutuskan untuk langsung menuju toilet.
Ada beberapa gadis cantik yang sedang bersolek dan mengolok-olok
nama seseorang di depan kaca wastafel. Aku duduk diatas kloset di salah satu bilik untuk menunggu giliran gadis-gadis cantik ini selesai memakai wastafel yang dikuasai mereka. Aku masih tak menyadari jika aku mengenal sosok yang tengah
dibicarakan para gadis itu hingga saat mereka menyebut nama sosok itu tubuhku
terasa disengat listrik.
Kebetulan aku menyimpan nomor
ponsel lelaki yang dimaksud, dan secepat kilat kukirimi pesan singkat ke ponselnya. Aku berharap Taka segera datang dan ia bisa mendengar
ocehan-ocehan tak pantas yang keluar dari mulut gadis-gadis ini. Tak sampai
sekitar 10 menit obrolan gadis-gadis itu berakhir dan mereka beranjak
meninggalkan toilet wanita dan.... kudengar sedikit keributan disana. Yah...
aku tak mau tahu apa yang diributkan karena aku sudah tahu apa yang akan
terjadi. Lebih baik aku tak ikut campur dan seolah-olah tak mengetahui apapun. Itu lebih baik.
Kegaduhan yang terjadi di depan
toilet wanita sudah mereda, entah sudah berapa lama aku duduk termenung di atas
kloset. Mengingat lagi kilasan-kilasan apa yang telah kulakukan. Sebenarnya aku
tak pantas berbuat seperti ini, apalagi aku sama sekali tak ada urusan apapun
dengan gadis itu. Tapi... aku mengenal siapa laki-laki yang mereka maksud dan
aku tak mungkin membiarkan laki-laki itu dibodohi begitu saja oleh si gadis. Karena
laki-laki itu adalah lelaki yang baik, dan aku sebagai temannya tentu tak akan
diam saja. Dan laki-laki itu adalah Taka.
Setelah beberapa lama menyendiri
di dalam bilik toilet, sebuah pesan singkat masuk di ponselku. Taka menanyakan
dimana keberadaanku dan mengajakku bertemu. Ku balas pesan singkatnya bahwa aku
masih berada di bilik toilet dan ia memintaku untuk menemuinya di tempat yang
telah di sepakati. Aku dan Taka bertemu dan membicarakan semua yang terjadi baru
saja dan mulai membicarakan apa saja. Sejak saat itu aku dan Taka seolah
menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Dimana ada aku pasti ada Taka, seolah
magnet antara kami tak pernah luntur dan selalu kuat merekat. ~
Taka menggeliat dan mulai membuka
matanya. Ia regangkan otot-otot tangan dan leher serta pundak. Dan beberapa
detik kemudian ia bangkit dari tidurnya dan berpindah posisi duduk seperti saat
ia baru datang di kafe tadi.
“Sudah berapa lama aku tertidur?”
“Hmmm... Lumayan, hampir empat
jam.”
“Benarkah? Cukup lama aku
tertidur.”
“Memang. Kau kan tukang tidur.”
Taka tak menjawab. Ia mengambil
cangkir coklat panas yang kini sudah tidak panas lagi. Ia minum sampai habis
hingga tetes terakhir, sesaat setelah cangkir ia letakkan kembali di meja ia
berkata lagi..
“Sudah gelap sekali diluar. Sudah
pukul berapa?”
“Pukul sepuluh, kau mau pulang?”
“Tentu... badanku sangat lelah
sekali.”
“Begitu, ya sudah aku juga sudah
lumayan pegal duduk cukup lama.”
“Baiklah kita pulang bersama-sama
saja.” Ujar Taka sembari bangkit dan memasang kembali masker di wajah dan mengambil
tas punggungnya.
“Oke, aku mengemasi
barang-barangku dulu. Ah iya... aku menraktir coklat panasmu hari ini.”
“Terimakasih, akan kutraktir kau
lain kali.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Malam ini aku bersama Taka sedang
menikmati malam bersama di balkon kafe. Seperti yang sudah kami lalui jika
bersama, membicarakan siapa saja dan tentang apa saja. Namun obrolan kali ini
terasa lain, membicarakan masa lalu yang pernah terjadi padaku.
“Yah, dulu aku memang mempunyai
seorang kekasih yang benar-benar aku cintai. Namun saat ditengah jalan kami
memutuskan berpisah karena menurutnya ada seseorang lebih baik lagi dariku.”
Taka mendengarkan dengan seksama sesekali menganggukkan kepala.
“Aku sama sekali tak ingin
menyanggah keinginannya saat ia utarakan secara gamblang padaku. Walaupun jujur
aku sangat terkejut dan kau pasti tahu rasanya jika orang yang kau cintai mencintai wanita lain.”
“Ya.. tentu saja aku tahu,
berkali-kali dikecewakan wanita membuatku merasakan apa yang kau rasakan. Lanjutkan...”
“Aku sudah berulangkali
memintanya untuk berpikir ulang atas ucapan dan niat yang dibicarakannya
padaku. Tanpa ragu dia berkata bahwa hatinya sudah yakin ribuan persen dan ia
tak ingin merubah pikirannya. Aku menyerah, aku bisa apa?”
“Lalu kau biarkan begitu saja
kekasihmu pergi?”
“Ya.. tentu saja.. Menurutmu?”
“Kau sungguh bodoh... Benar-benar
wanita yang bodoh.”
“Aku tak bisa mempertahankan
orang yang tidak setia.” Sergahku.
“Baiklah, keputusanmu masuk akal.
Lanjutkan lagi...”
“Aku juga menegaskan padanya jika
ia lepas dariku, kesempatan untuk kembali sama sekali tidak ada. Sekalipun.”
“Ia pergi...?” Taka bertanya
penuh antusias sambil menyesap capucino yang ada dicangkir berwarna putih.
Aku mengangguk.
“Bersama kekasihnya yang baru?”
“Benar sekali.”
Hanya suara ketukan kuku jari tangan Taka yang beradu pada meja tempat cangkir dan piring biskuit diatasnya.
“Kau mengenalnya?”
Aku mengangguk
“Sangat!”
Taka memiringkan kepalanya dan
memberikan pandangan penuh tanda tanya.
“Dia sahabatku.” Ucapku singkat.
Rahang Taka terbuka beberapa
centi, dia melihat kearahaku dengan pandangan ‘APA KAU BILANG????’
“Ya Tuhan... Aku tak bisa
membayangkan bagaimana kau saat itu.” Ujar Taka sambil meletakkan cangkir
capucinonya.
“Aku baik-baik saja.” Sanggahku
sambil menatap sungai di bawah sana.
"Pasti kau rapuh.”
“Tidak, aku tetap tangguh.”
“Baiklah aku percaya, karena aku
saksi hidup yang nyata bahwa kau memang tangguh.”
“Trimakasih. Aku sangat terhormat
mendengar kata-kata itu keluar dari bibirmu.”
“Lalu...? Ah tunggu... jadi itu
sebabnya selama ini kau terlihat selalu menyendiri?”
“Ya... bisa dibilang seperti
itu..”
“Kupikir kau lesbian..”
“Kau mau kuhajar???”
“Tidak. Aku hanya ingin
ditraktir. Lanjutkan...”
“Baiklah... kulanjutkan lagi. Jadi
aku menyendiri bukan tanpa alasan dan aku menyendiri bukan karena tak punya
teman.....”
“Kau tak menganggapku teman?”
“Kau ini bisa konsisten tidak? Kau
ini sahabat bukan teman. Ingat !”
“Lalu...?”
“Walau tanpa teman, aku bukan orang yang
kesepian yang menyedihkan. Aku melalui semuanya sendirian dengan senang.”
“Tentu saja kau senang, Karena
ada sahabatmu yang hanya aku seorang.” Taka menimpali.
“Tapi beberapa saat yang lalu ia
datang padaku dan meminta untuk kembali padanya.”
Taka terhenyak.
“Kau setuju?”
“Untuk apa?”
“Untuk kembali padanya?”
“Aku tak bisa hidup dan tumbuh
bersama seorang pengkhianat.”
Hening sejenak.
“Kau menolak kembali?”
“Yap... Aku lebih senang
menyendiri hingga mendapatkan seseorang yang lebih baik nantinya,” Ucapku
sambil tersenyum pada Taka dan mengambil satu potong biskuit.
“Wow, sekian lama aku mengenalmu.
Aku baru mengatahui sisi gelapmu.”
“Hey, aku bukan gadis
kegelapan... jangan menyebut sisi gelap.”
“Baiklah-baiklah... akan kusebut
itu masa lalu...”
“Begitu lebih baik...”
Hening sejenak.
“Eummm. Kupikir hanya aku
laki-laki didunia ini yang selalu memiliki kejadian masa lalu yang kurang baik.
Namun ternyata sahabat di sampingku pernah mengalami hal yang lebih buruk
dariku.” Taka memecah keheningan, ia kembali mengetuk-ngetukkan kukunya yang tak
panjang di meja.
“Yah... setidaknya setiap orang
bisa mengambil hikmah di balik setiap masa lalu buruk yang terjadi dan semoga
tak menemui peristiwa yang sama di masa depan.”
“Kuharap begitu juga padaku.” Taka menggumam pelan sembari menopang dagunya dengan jari tangannya.
“Hey... kau tahu tidak? Ini
adalah obrolan serius terpanjang yang pernah kita bicarakan selama kita
bersahabat.”
“Oh iya? Memang kita tidak pernah
bicara serius?”
.
.
.
To be continue
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Udah lama ff ini kesimpen di draft tapi belum sempet ke publish. Dan akhirnya ada kesempatan buat publish ini ff. Ah entah kenapa saya susah sekali move on dari Taka.
Jadi ff ga pernah jauh jauh dari Taka, besok deh saya bikin babang Toru ya..
.
.
.
.
Selamat Malam.
.
.
.
Terimakasih sudah berkunjung.
.
.
.
Kapan-kapan Main Lagi Ya...
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Feel free to comment... silahkan....