With You
(Last Part)
(Last Part)
Author : Parasarimbi
Genre : Friendship
Lenght : Twoshoot
Cast : Taka, You/Me
Disclaimer : Story is Mine
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Ayo kita bertemu, aku sedang
senang hari ini dan aku ingin mengabarkan kabar yang menggembirakan.”
“Apa?”
“Lebih baik kita bertemu,”
“Aku sibuk.”
“Yasudah... kalau kau sibuk aku
tak jadi mentraktirmu....”
“A....a...a...aaahhh... tidak aku
tidak sibuk. Kapan kita bertemu?”
“Nanti malam pukul 7 ditempat
biasa. Oke?”
“Ok.”
Aku mengirimi Taka pesan singkat
untuk mengajaknya bertemu di kafe, aku ingin mengabarkan kabar gembira. Well
setidaknya itu kabar yang menggembirakan untukku. Rasanya sudah tidak sabar
untuk menunggu hingga pukul 7 dan berceloteh tentang hal yang ingin kuceritakan
kepadanya. Dia harus tahu dan orang pertama yang harus tahu, karena dia sahabat
yang paling kusayangi. Dia pasti sangat bersemangat mendengar kata “traktiran”
dan itu adalah senjata andalanku untuk merayu ketika menginginkan sesuatu,
hahaha.
Masih sekitar pukul 4 sore,
pekerjaanku di kantor sudah hampir selesai jadi aku agak sedikit bersantai dan
merapikan meja kerjaku yang berantakan. Kuraih bingkai foto yang menampakkan
dua wajah dengan dua ekspresi yang berbeda dan dengan gaya yang berbeda. Wajah
itu adalah wajahku dan wajah Taka tentunya.
~~~~
“Jadi apa?”
“Apa?”
Taka mengernyitkan keningnya. Aku
juga berbuat hal yang sama seperti Taka, mengernyitkan kening.
“Entahlah. Kabar gembira mungkin?
Seperti yang kau katakan di pesan teks?”
Aku seperti tersadar akan
sesuatu.
“Aaak... Kau benar, untung kau
mengingatkan.”
“Apa?”
“Ummm....” Aku menggumam pelan.
“Ummm?” Taka menirukan caraku
bergumam.
“Aku mendapatkan promosi jabatan
sebagai kepala divisi di perusahaan!” Pekikku pelan namun terdengar nada
gembira yang kentara.
Taka yang sedang meminum teh
hijau hangat di cangkir berwarna putih itu tersedak. Ia terbatuk-batuk kecil
sembari meletakkan cangkir dan mengambil tisu untuk membersihkan mulutnya dari
percikan air yang menyembur keluar.
“Hati-hati...! Kau minum seperti
raksasa saja!” Pekikku terkejut.
“Itu karena kau berteriak seperti
raksasa !”
“Ya ya ya... sini kubantu.”
“Tidak usah, aku punya tangan tak
perlu kau bantu.”
“Ya sudah...”
Setelah Taka sudah tak sibuk
dengan acara bersih-bersih bekas percikan teh hijau, ia terlihat antusias untuk
mendengar ceritaku. Taka sangat bersemangat untuk menyimak semuanya dari proses
riwayat pekerjaanku dari a hingga z. Sesekali kami tertawa bersama ketika aku
menceritakan tingkah laku bosku yang sangat pelupa dan selalu bertanya dimana
ia meletakkan barang yang terakhir ia bawa. Padahal barang yang dimaksud masih
tergenggam di tangannya. Tawa lepas dan senyum lebar mengiringi pertemuan hari
ini. ah iya aku lupa menyampaikan suatu hal....
“Tapi, aku harus berpindah kantor
yang jauh dari sini...”
Perlahan namun pasti senyum lebar
Taka yang menyenangkan itu terlihat memudar. Wajahnya terlihat tak seantusias
sebelumnya. Aku merasakan perbedaan itu, terutama dari sikapnya dan
kata-katanya.
“Maksudmu?” Nada suara Taka
terdengar menyelidik.
“Aku dipindah-tugaskan di kota lain, dan pasti
kita akan tinggal berjauhan. Aku sedih jika harus berpisah denganmu...”
Taka tak menjawab apapun. Ia
duduk dengan tak nyaman, dengan salah satu telapak tangan yang menutupi
mulutnya. Sedangkan aku yang duduk disampingnya merasa sedikit gelisah dan
mencoba mencairkan suasana dengan sedikit gurauan.
“Kau jangan menangis ya jika
kutinggal sendiri? Dan jangan mencariku sambil menangis, hehhe.” Aku tahu
gurauanku ini terdengar amat sangat tidak lucu namun aku memaksa kata-kata ini
keluar dari mulutku.
“Lalu, apa peduliku? Kau
berpindah ke ujung dunia pun aku tak akan mencarimu.” Suara Taka terlihat
berbeda, nada tak peduli keluar dari bibirnya.
“Hei.. kenapa kau jahat sekali
padaku. Kau kan sendiri yang mengatakan kalau aku adalah sahabatmu.” Jujur aku
sedih mendengar Taka mengatakan hal demikian.
“Lalu, aku harus bagaimana? Kau
kan yang akan berpindah kerja? Kau ingin aku mengikutimu untuk bekerja di
kantor yang sama sepertimu? Tidak akan.”
Kini yang kudengar nada ketus yang
keluar dari bibirnya.
“Aku tak memintamu untuk
berpindah kerja. Hei..tunggu kenapa tiba-tiba kau jadi menyebalkan?”
“..............”
Taka hanya terdiam dengan wajah
gusar. Di ambilnya cangkir teh hijau yang masih separuh dan diminumnya sampai
habis. Ia angkat tinggi cangkir itu di atas mulutnya untuk memastikan tetes
terakhir dari greentea masuk kedalam mulutnya. Suasana aneh menyelimuti
pertemuan antara aku dengan Taka malam ini, pembicaraan terdengar menjadi
kurang nyaman. Tak bisa kujabarkan betapa tak menyenangkannya pertemuan
terakhir antara aku dan Taka.
Malam itu keadaan agak buruk dan
semakin memburuk setelah hari dimana aku berpindah domisili dan pekerjaan. Tak
ada perpisahan yang mengharu biru dengan sebuah pelukan terakhir di stasiun
kereta. Ia hanya duduk di bangku kereta dengan wajah yang sangat gusar. Ia tak
mendekatiku dan mengucapkan kata apapun. Aku tahu ia pasti sangat sedih dengan
kepindahanku di kota lain yang cukup jauh karena aku juga merasakan demikian. Siapa
lagi yang akan menjadi teman bicara? Siapa lagi yang akan menjadi temanku
berbagi cerita?
Namun saat kereta berjalan,
sebuah pesan teks masuk di ponselku,
Hati-hati dan jaga diri baik-baik disana
Senyumku tersungging, ia masih
peduli padaku meskipun ia sedang mengalami rasa sedih yang sama denganku.
Kau juga. Akan kukabari jika sudah sampai.
Kubalas pesan Taka dan kusimpan
ponselku di dalam tas dengan sedikit menghirup nafas lega.
~~~~
Hey Taka... kau tahu tidak, ternyata aku
sekantor dengan sahabat lamaku. Lebih tepatnya mantan kekasih dari mantan
kekasihku juga bekerja di tempat yang sama denganku. Aaah aku tak mengerti
dengan sikapnya, ia seolah memusuhi dan tak mau mengajakku bicara sama sekali.
Lebih mengherankan lagi ia sering usil dengan menyindirku dengan suara keras
ketika ia berbicara dengan teman kantor yang lain. Menjengkelkan sekali !
Sent
Aku menghela napas pelan. Kupikir
di kantor baru ini semua akan berjalan menyenangkan. Namun semua tak seindah
anganku, apalagi saat aku mengetahui ternyata aku berbagi kantor yang sama
dengan sahabatku yang bahkan kini tak sudi untuk berjabat tangan denganku.
Belum
lagi gangguan dari mantan kekasihku yang masih meminta kembali merajut kisah
denganku. Aku berusaha untuk tak menggubris permintaannya, namun ia semakin tak
tahu diri. Hal itulah yang selalu mengganggu pikiranku, aku menjadi tak fokus
dalam bekerja. Kerap kali aku mendapat teguran dari atasanku karena aku sering
terlihat melamun.
Seandainya ada Taka disini,
mungkin aku bisa meminjam bahunya untuk bersandar dan mengeluarkan semua keluh
kesah yang ada dalam benakku. Semuanya seolah baik-baik saja bila ia disini.
Namun sejak kepindahanku di kota ini, ia susah sekali dihubungi. Ia akan
menjawab pesan teks, email maupun telpon dariku sesuka hatinya. Kadang ia
memang menyebalkan namun aku tahu ia sangat mengkhawatirkan aku.
Hey Taka ! Jangan sombong ! Jangan pura-pura
sibuk ! Kau harus mendengar lagi ceritaku yang sangat menyebalkan... amattttt
sangat menyebalkan. Mantan kekasihku masih sering menggangguku, mantan
sahabatku juga begitu. Aku sering kena omel atasanku. Pekerjaanku menjadi
buyaaaaaaaaaaaaar....... ! Arrrrrghhhhhh menyebalkannnn....
Sent
Deretan keluhan yang kukirimkan
lewat email maupun pesan teks bertubi-tubi kukirimkan kepada Taka. Aku mengerti
ia pasti akan merasa terganggu dan menganggap semua pesanku adalah spam, ah dan pasti ia akan menganggapku spammer.
~~~~
Sudahlah daripada kau mengeluh terus lebih
baik keluarlah dari pekerjaan dan menikah denganku.
Apa maksudmu?
Maksudku sudah jelas, jadilah ibu rumah
tangga yang menantiku pulang bekerja.
Kau sedang tidak mabuk?
Betul, mabuk karena cinta.
Dasar pemabuk.
Hei.. aku tidak bercanda ! Seriuslah sedikit
!
Aku tidak percaya kalau kau serius,
AKU SERIUS !!!
AKU TIDAK PERCAYA !!!
PERCAYALAH !!!
TIDAK MAU ! APA BUKTIMU ?!!
KAU MAU BUKTI??? LIHATLAH KELUAR & KEBAWAH
DARI JENDELA RUANGANMU..
Deg !!!
Dengan penuh keraguan dan jantung
yang berdegup menyentak jantung kulangkahkan kaki perlahan menuju jendela ruang
kerjaku yang mengarah keluar yang berisi pemandangan gedung-gedung bertingkat.
Kusibak tirai yang sedikit kututup karena cahaya matahari yang terlalu terik
dan menyilaukan. Aku melongok ke arah bawah di trotoar yang berada di depan
kantorku.
Dia disana.
Taka berdiri di bawah sana.
Dia mengarahkan tepat pandangan
matanya kepadaku yang sedang melihat keberadaannya dari atas.
Segera kututup dengan cepat tirai
dengan jantung yang bergejolak. Darahku berdesir cukup cepat, dan perasaan apa
ini...?
Seolah ada rasa yang membuncah
dari dalam hatiku, seolah isi dalam otakku membiaskan kebahagiaan yang belum
pernah kurasakan sebelumnya. Tak seperti biasanya saat melihat dirinya hatiku
segembira ini.
Pippp
Kau tak mau menemuiku? Jahat sekali...
Pesan teks dari Taka.
Ahh aku sudah terlalu lama larut
dalam pemikiranku, aku harus kebawah dan menemuinya. Ia pasti sudah menempuh
perjalanan panjang dan jauh hanya untuk menemuiku.
Tunggulah sebentar cerewet !
Tergesa-gesa aku keluar dari
ruangan dan menaiki lift menuju lantai dasar. Seperti tak sabar untuk segera
sampai seolah lama sekali lift ini menurun.
Lantai 4
Lantai 3
Lantai 2
Lantai 1
Lantai dasar.
Tringggg
Pintu lift terbuka lebar, aku
bergegas keluar untuk menemui laki-laki sahabat kesayangan berambut keriting
dan sedikit cerewet. Aku sudah beberapa langkah lagi menuju pintu keluar, dan
Taka sudah menyadari kehadiranku. Dengan penuh senyum mengembang di bibirnya
saat aku berjalan menghampirinya, ia berujar
“Selamat siang nona...”
“Kau gila!”
“Yap, dan kau adalah sahabat dari
orang gila. Aku betul kan?”
“Takaaaaa.....”
“Baiklah-baiklah. Segera kemasi
barang-barangmu dan buatlah surat resign sekarang juga.”
“Kau boleh gila, tapi jangan
mengajakku gila juga Taka...”
“Hmmmmhhh...” Taka menghela napas
berat.
Aku melihat keadaan, beberapa
rekan sekantor melihatku berada di luar kantor pada saat jam kerja. Merasa
tidak enak, dengan keadaan ini akhirnya aku menyuruh Taka untuk pergi ketempat
yang nyaman untuk berbicara empat mata.
“Baiklah.. kau pergilah dulu
ketempat ini aku akan menyusul nanti.” Ucapku seraya menuliskan alamat disebuah
sobekan memo kecil dengan bolpen yang selalu kutaruh di kantung kemejaku.
Kuserahkan kertas itu kepada Taka, dan Taka membacanya sembari mengerutkan
kening dan mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Kapan kau akan menyusul?”
“Aku belum tau pasti Taka, tapi
akan kuusahakan secepat mungkin segera kesana. Aku tahu kau pasti lelah selama
perjalanan jadi lebih baik kau istirahat dulu disana. Oke. Lelaki keriting?”
“Baiklah sayang...”
“Hehhhh !!!” Hardikku dengan
suara keras dan mata melotot.
“Wow. Matamu membesar seperti
raksasa. Hahahahahaha. Sampai ketemu disana, jangan lupa bawalah sesuatu untuk
bisa kumakan.” Ucap Taka sembari berjalan meninggalkanku.
Aku mengangguk sembari
mengacungkan ibu jari jempol kananku.
“Hati-hati.. !”
Taka hanya mengacungkan jempol
tangan kirinya ke udara tinggi-tinggi tanda menyetujui.
Masih bisa kulihat sosoknya saat ia berlalu,
dengan topi hijau kesukaannya dan ransel hitam yang selalu menemaninya
kemanapun. Aku begitu hapal dengan sifat dan hobi laki-laki ini, ia tak pernah
menyembunyikan apapun kepadaku. Semuanya begitu lepas saat ia bersamaku, namun
aku begitu heran ketika menyadari sikapnya tak sama seperti yang ia tunjukkan
kepadaku saat ia bersama gadis lain.
~~~~
Di kafe kecil berwarna coklat
ini, aku dan Taka bisa bercengkrama kembali. Aku rindu sekali pada lelaki
keriting ini. Menanyakan kabar dan perkembangan pekerjaan masing-masing menjadi
percakapan awal. Kemudian menceritakan segalanya yang terjadi pada kehidupan
masing-masing dari a hingga z, membagi keluh kesahku tentang hidup dan
pekerjaanku disini.
Diiringi lantunan lagu Dave Koz mengalun syahdu di tiap
sudut kafe ini. Seperti biasa saat aku bertemu dengan Taka, sofa panjang selalu
menjadi pilihan untuk kami duduki. Menikmati kenyamanan berdua, menikmati aroma ice lemon tea yang menguar dan
mencicipi cheese cake yang manis. Celetukan
ngawur, tidak jelas dan terkadang lucu mewarnai obrolan kami. Hingga tiba-tiba
Taka mengatakan sesuatu yang cukup membuat jantungku berdegup..
“Aku memikirkan sesuatu dimana
akhirnya aku menyadari bahwa kegagalanku menjalin kasih bersama para wanita-wanita
itu tak pernah berhasil karenamu.”
Aku terhenyak kemudian menunjuk
hidungku sendiri.
“Aku?”
Taka hanya mengangguk.
“Bagaimana bisa? Aku bahkan tak
pernah mengenal siapa gadis-gadis yang pernah kau kencani...”
“Memang.”
“Lalu? Kenapa kau menyalahkanku?”
“Selama ini aku tak pernah puas
ketika mendapatkan gadis yang kusukai.”
“Puas? Maksudmu? Mereka kurang
hot?” Tanyaku menggoda.
Aku terkikik geli dan Taka pun
terpancing untuk ikut tertawa lebar.
“Ya.. aku tak pernah puas meskpun
mereka cantik, baik dan mereka sangat mempesona.”
“Terdengar sangat menyenangkan
bisa mendapatkan gadis sempurna seperti itu, lantas... apa yang membuatmu tak
puas?”
“Mereka tak bisa memahamiku
seperti kau memahamiku.”
Aku termenung dan sedikit
terkejut dengan kata-katanya. Tanpa sadar aku menggigiti sedotan yang masih
berada dalam mulutku.
“Mungkin aku tak pernah berhasil
dengan wanita-wanita itu karena aku selalu menilai dan membandingkan mereka
denganmu.” Taka melihatku dari lirikan matanya yang ia tujukan kepadaku.
Entah tak tahu lagi apa yang
harus kulakukan mendengar Taka mengatakah hal yang begitu serius seperti ini.
Sedotan yang kugigiti sudah tak beraturan. Taka sedang mabuk... tidak tidak ia
tidak pernah minum alkohol dan ia tidak suka alkohol jadi kemungkinan dia mabuk
sangat kecil sekali. Ya mungkin dia sudah gila, kewarasannya menghilang entah
kemana gara-gara sering dikecewakan oleh wanita. Setidaknya itulah yang ada di
pikiranku.
Kupegang dahi Taka, tidak panas.
“Kau pikir aku sakit huh?” Hardik
Taka.
“Kupikir kau tak sadar mengatakan
hal ini...” Jawabku cuek
“Kau ini gadis terbodoh yang
pernah kutemui, peka lah sedikit!”
“Baiklah-baiklah aku mencoba
serius..”
Pembicaraan ini menjadi sangat
panjang dan benar-benar serius. Taka benar-benar serius. Ia mengutarakan keinginannya
untuk menjalin sebuah hubungan yang serius denganku. Ia tidak sedang bercanda,
dan Taka benar-benar aneh jika tidak sedang bercanda.
“Tapi aku tidak bisa Taka, aku
masih nyaman dengan kesendirian ini.”
“Kenapa? Kau itu sebenarnya rapuh,
tapi kau pura-pura tangguh. Apa kau tak lelah dengan hidupmu seperti ini?”
“Kau mengatakan aku rapuh? Bagian
mana yang kau sebut rapuh? Aku menghadapi semuanya sendirian dengan baik, apa
kau tak melihat itu?”
“Tentu aku melihat semuanya, aku
menyaksikan dan akulah saksi hidupmu beberapa tahun belakangan. Tapi aku tetap
memandangmu sebagai wanita yang rapuh.”
“Kata-katamu sangat menyinggung
perasaanku.” Ujarku sambil bersedekap kesal.
“Menyakitkan bukan? Karena itulah
yang sebenarnya terjadi dan aku hanya mengungkapkan fakta dan kau masih mencoba
mengelak.”
“Tapi aku tetap seorang wanita
tangguh, aku selalu menjadi sandaranmu saat kau butuh teman. Itulah yang
membuatku merasa tangguh.”
“Yaaah terimakasih untuk itu,
tapi aku bisa merasakan kerapuhan dari dalam dirimu.” Taka masih bertahan dengan argumennya
“Arrrrrgh....” Aku mengacak
rambutku kesal.
Menyebalkan sekali Taka, selain
suka berkata seenaknya ia ternyata juga pintar berdebat. Hal ini baru kutemukan
dalam dirinya. Ia sangat serius dengan ucapannya yang ingin membawa hubungan
persahabatan ini meningkat ke hubungan asmara yang lebih serius. Sedotan yang
sudah tak berbentuk sudah tergolek tak berdaya di atas meja. Kini aku menggigiti
kuku ku untuk menggantikan sedotan itu. Tangan Taka terulur ke gelas minumannya
dan mengambil sedotan dan diberikannya kepadaku.
“Apa ini?” Tanyaku heran.
“Untuk menggantikan sedotanmu,
jangan seperti raksasa yang suka menggigiti kuku.”
“Hmmmmmm...” Deheman sebal keluar
dari bibirku, aku mengambil sedotan dari tangan Taka hendak memasukkan ke dalam
mulutku, namun tak jadi dan tiba-tiba teringat.
“Hey ini kan sedotan bekas
bibirmu..”
“Lantas kenapa? Kau jijik pada
sedotan bekas milikku?” Taka memberikan penekanan pada kata-katanya di bagian ‘jijik’
“Tidak...” Tanpa banyak kata
lagi aku memasukkan sedotan itu kedalam mulutku dan mulai menggigiti lagi. Entah
sejak kapan aku jadi hobi menggigiti sedotan, mungkin sejak aku salah tingkah
ketika Taka mengatakan beberapa hal yang mendebarkan beberapa saat yang lalu.
“Hey...”
“Hmmm..”
“Oh ayolah, sampai kapan kau akan
tetap seperti ini?
“Seperti ini apa maksudmu?”
“Kau sama sekali tak mengerti apa
yang kumaksud?”
“Sedikit...”
“Kau memang tidak peka. Sudah
berapa lama kita saling mengenal dan bersahabat?”
“Kurang lebih lima tahun, ada
masalah?”
“Tidak. Tidak ada masalah dengan
itu. Tapi masalahnya ada pada kita berdua.”
“Kita berdua? Bagian mana yang
bermasalah?”
“Kita hanya sibuk dengan urusan
asmara kita masing-masing di luar sana. Sedangkan Tuhan sudah menunjukkan orang
yang tepat di depan mata kita.”
“............................”
Aku masih bingung mencerna kata-kata Taka.
“Apa kau tak menyadari jika kita
berdua saling memahami dan saling membutuhkan satu sama lain? Dan sama-sama merasa kehilangan ketika satu sama lain tak ada.”
Perasaanku seperti tertohok
sesuatu. Taka benar.
“Kau benar, kita berdua saling
memahami dan saling membutuhkan. Kenapa baru saja terpikirkan olehku?” Aku menggumam pelan tanpa sadar.
“Dann....kenapa tak kita coba
untuk mempersatukan hati kita?”
“Tapi, aku...”
“Biasakanlah... Semua pasti akan
mengalir.”
“Tapi Taka.... aku belum terbiasa”
“Sudahlah jalani saja dengan
perlahan. Kau tahu sejak kepergianmu ke kota sialan ini aku tak pernah berhenti
memikirkanmu.”
“Memikirkan apa? Kau saja jarang merespon..”
“Itu karena aku sebal dengan
sikapmu bodoh!”
“Sikap yang mana?”
“Seperti yang kubilang tadi,
Rapuh namun pura-pura tangguh. Menghadapi gangguan dari mantan kekasihmu saja
kau sudah merengek padaku sedemikian rupa hingga aku yang harus turun tangan
menyusulmu kesini.”
“Jadi kau melihat sisi rapuhku
dari hal itu?” Aku terkekeh geli sekaligus malu.
Taka tak menjawab. Hening sejenak
tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir salah satu dari kami. Kepalaku
bergerak perlahan menuju bahu Taka untuk mencari sandaran. Taka menyambut
kepalaku di bahunya dengan sedikit mengusap-usap kepalaku dengan salah satu
tangannya. setelah sekian lama terdiam Taka memecah keheningan..
“Oh iya, bisa tidak aku meminta
royalti darimu”
“Ehh.. Royalti? Royalti apa?” Kepalaku
tegak kembali dan melihat ke wajah Taka.
“Royalti dari hasil menulis.”
Ucap Taka santai dengan masih bersandar pada punggung sofa.
“Maksudmu? Jelaskan padaku, aku
benar-benar tak mengerti”
“Kau pikir selama ini aku tak
membaca cerpen-cerpen yang kau kirim di majalah atau tabloid?”
Aku terkejut, sedetik kemudian
aku tersipu malu.
“Jadi kau membacanya juga? Hehe bagaimana
bagus tidak?”
“Tentu saja sangat bagus, tapi
pintar sekali kau mengambil ide cerita dari semua masalah yang terjadi padaku!”
Ucap Taka sambil mengangkat keatas kerah pakaianku bagian belakang seolah sedang mengangkat kucing..
Aku mengacungkan telunjuk dan
jari manisku membentuk huruf V, kemudian menyunggingkan senyum aneh. Aku sangat
malu sekali saat Taka mengetahui cerpen yang kutulis dan kukirimkan di
majalah-majalah itu berdasarkan kisah nyata yang dialami Taka.
“Sorry...” Masih kutunjukkan
senyum aneh itu untuk Taka.
“Tapi aku senang kau masih menghormati
privasiku dengan mengganti nama tokoh itu bukan dengan namaku..” Taka tersenyum
sangat manis sembari menatap wajahku lekat.
“Tentu saja bodoh! Kau pikir aku
tega menceritakan kisahmu ke khalayak umum dan teman-temanmu, keluargamu dan
seluruh dunia tahu betapa menyedihkannya kisahmu saat itu...” Cibirku.
“Sudah..sudah.. baiklah aku
memang bodoh. Tapi aku masih meminta royalti darimu...”
“Kau ini matre sekali, baiklah...
berapapun royalti yang kau minta akan kuberikan..”
“Benarkah?”
“Benar....”
“Janji?”
“Janji. Kau mau dalam
bentuk uang atau traktiran?”
“Tidak keduanya...”
“Hahh? Lalu apa yang kau minta?”
“Royalti yang akan kau bayar
seumur hidup untuk menemaniku menua hingga mati dipelukanmu... Aku hanya minta
itu...” Tiba-tiba Taka memelukku erat. “Aku ingin menjadi sandaranmu saat kau
lelah dan sedih. Aku mencintaimu.”
Dengan masih kaku, aku membalas
pelukan Taka yang kini berubah status bukan lagi sebagai sahabatku namun
kekasihku. Meskipun aku belum menjawab apapun, gerak-gerikku yang menjawab. Taka,
sepertinya aku memang jatuh padanya. Kenapa aku tak menyadarinya? Aku dan Taka
telah menghabiskan waktu sekitar lima tahun bercengkrama. Selama kami bersama
tak pernah terbersit dalam pikiran kami
untuk menjalani suatu hubungan yang lebih dekat.
~~~~
Pagi ini aku menyerahkan surat
resign untuk atasanku. Aku akan melepaskan pekerjaanku dan kembali ke tempat
asalku dimana nantinya aku akan hidup bersama dengan Taka. Pesan teks yang
kukira main-main itu ternyata serius, Taka menghendaki aku menjadi ibu rumah
tangga dan tak perlu bekerja lagi. Taka bercerita jika ia sudah mendapat
pekerjaan yang lebih menjanjikan dan mampu menghidupi kebutuhan kami
sehari-hari. Tiada hal yang lebih membahagiakan ketika Taka melamarku malam itu
juga dan aku mengiyakan tanpa ragu. Senyum bahagia mewarnai hari-hariku saat
ini.
Aku sudah tak peduli lagi kepada
mantan sahabatku yang memusuhiku, tanpa dendam aku memanggil dan mengajaknya
bersalaman untuk perpisahan terakhir. Dia terlihat kikuk dan tak enak
melihatku, namun aku juga melihat raut wajah bahagia terukir di wajahnya. Ia
pasti bahagia dengan kepergianku. Biarlah.. tak usah kupedulikan lagi aku sudah
bahagia dengan Taka yang kini disampingku.
Dan saat mengabari mantan
kekasihku karena aku akan segera menikah, ia mengancam bunuh diri atau ingin
menggagalkan pernikahanku. Dengan halus aku memberinya penjelasan bahwa masih
ada seseorang yang mencintai dirinya apa adanya, siapa lagi kalau bukan mantan
sahabatku. Jadi pasangan yang cocok bukan, pengkhianat dengan pengkhianat.
Setelah surat resign di acc oleh
atasanku, aku pulang bersama Taka menaiki kereta dan bersiap menikmati
perjalanan panjang. Romansa kami di kereta masih seperti biasa, penuh dengan
canda, berkata sesuka hati, saling mencibir dan debat kusir. Namun ada suatu
garis lintasan yang tak bisa kuhindari. Garis lintasan cinta yang
menghubungkanku dengan Taka, garis yang kemudian terpaut dan menyatu dan
terikat dalam hati masing-masing. End.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Yoshhh... selesai juga nih
twoshootnya, habis ini mau lanjutin pathetic girl dulu. Habis pathetic girl
lanjut lagi ke Why chapter 5.. kebetulan ada foto Taka lagi party sama
cewek-cewek bule jadi feelnya dapet lagi hahahahaa...
Oh iya ini postingan pertama di
bulan Juni ya..
Welcome June !
Oke ga perlu lama-lama lagi saya
sudahi dulu note saya.
Selamat malam
.
.
.
Terimakasih Sudah Berkunjung
.
.
.
Kapan-kapan Main Lagi Ya...
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Feel free to comment... silahkan....