Rabu, 19 Februari 2014

Fanfiction One Ok Rock ; A Pathetic Girl with a Stubborn Boy Chapter VI





A Pathetic Girl with a Stubborn Boy Chapter VI

Author             : Parasarimbi

Genre              : Romantic

Length             : Chapter by Chapter (belum ada rencana sampai chapter berapa)

Cast                 : Manami as Donna

                          Taka

                          Toru

                          Ryota

                          Tomoya

Disclaimer : Cerita punya saya, tapi tokoh bukan punya saya.

Note                : Saya ga nyangka ternyata fanfic One Ok Rock yang ini banyak yang nungguin lanjutannya. Haduhhh saya jadi terharu. Trimakasih ya kawan-kawan penikmat Fanfic di kapanmainlagi.




Enjoy!




“Cerita tentang bajingan itu tak akan kuperpanjang, aku sudah malas. Kali ini aku ingin mengatakan  tentang suatu hal penting. Sangat penting yang harus kau ketahui kebenarannya”

Aku tak menjawab apapun. Mataku menerawang ke depan kaca mobil, terlihat pemandangan yang sangat hijau. Menyejukkan. 

Kemudian Taka melanjutkan...

“Aku tahu kau pasti akan benci mendengar hal ini tapi cerita sebenarnya harus kau ketahui”
Sekilas aku menoleh penuh tanya menanti cerita seperti apa yang akan ia utarakan kemudian aku memalingkan wajah lagi,

“Ini tentang keluargamu”

“Aku tak punya keluarga.” Batinku.

“Ibumu...”

“Apalagi ini...” 

Aku menanti tiap kata dari Taka yang terbata-bata

“Ibumu... dia...”

“Dia meninggal dibunuh Ayahku. Selesai. Tak perlu dibahas lagi, atau aku akan menangis lagi tiap malam selama tiga puluh hari” Ucapku masih dalam hati

“...................” 

Kata-kata yang akan dikeluarkan Taka serasa tertahan dimulutnya. Aku menoleh lagi kearahnya agar segera mengucapkan apa yang hendak ia katakan. Taka menelan ludah karena jakunnya terlihat naik turun.

“Cepat Katakan” Tak  sabar sekali menanti.

.

.

 “Ibumu meninggal karena bunuh diri!” Ujar Taka.

.

.

Aku menoleh menatap erat wajah Taka dengan penuh rasa keterkejutan. Ini cerita kelam yang tidak ingin kuingat dan sebenarnya tak akan mau kubahas lagi. Sungguh aku benar-benar sangat terkejut, ini tidak mungkin.  Aku membantah perkataan Taka dengan menggeleng-gelengkan kepalaku cepat.

“Tidak.. tidak mungkin..., Ayah yang membunuhnya! Ayah membunuhnya dan Ibu meninggal karena Ayah! Tidak mungkin!” Aku membantah perkataan Taka.

“Manami....!” 

“Kau jangan mengarang cerita! Kau salah ! Ibu meninggal karena Ayah. Ayah yang membunuhnya!!!” 

Aku berteriak histeris di dalam mobil. Aku memukul-mukul dashboard mobil dengan tanganku. Aku mulai terbawa emosi. Emosi jiwa yang bergejolak. Emosi yang ada dalam dasar hati yang mengendap bertahun-tahun dan siap untuk dimuntahkan keluar seperti gunung yang meletus. Kata-kata Taka seakan tak bisa dicerna otakku. Alam bawah sadarku menolak apa yang Taka ucapkan.

“Manami... !!! Dengarkan aku !!! Manami....!!!” 

Taka berteriak tak kalah lantang. Tangannya sibuk menghentikan aksi kedua tanganku yang sedang memukul-mukul dashboard mobil. Hingga saat kedua tangannya berhasil mendapatkan kedua tanganku, dihadapkannya tubuhku ke arahnya. 

“Manami... Lihat mataku, aku tidak akan bercerita tentang fairy tale yang hidup bahagia selamanya. Ini realita yang harus dihadapi... Hey.. Manami, tatap mataku...” Perkataan Taka sedikit melunak melihatku seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Aku masih memejamkan mata tak mau menatap matanya.

“Manami, bukalah matamu... tatap mataku.” Taka memaksaku untuk menatap matanya.
Isakanku makin menjadi, aku mencoba membuka mata dan melihat ke arah bola mata Taka berada kemudian saling mengunci tatapan mata dengan Taka. Hanya beberapa detik, setelahnya air mataku seakan mengalir tanpa henti dengan isakan yang membuat tubuhku berguncang. 

Taka tak tinggal diam. Taka merengkuh tubuhku, memeluknya hangat. Dipeluknya erat tubuhku yang lunglai dengan tangannya. Kubenamkan wajahku di dadanya hingga kaos yang dikenakannya basah karena air mataku.

“Menangislah..menangislah sebanyak yang kau mau. Keluarkan semua kesedihanmu dan aku akan tetap bersamamu.” 

Taka membisikkan kalimat yang entah mengapa membuatku merasa sejuk. Berbeda saat beberapa waktu yang lalu ia menunjukkan kemarahannya dengan mengemudi mobil serampangan dan memukul setir mobil. Rasanya nyaman sekali dan aku ingin berlama-lama di pelukannya, dan... Hey ! Aku  baru menyadari sudah lama aku tak merasakan kasih sayang dari siapapun karena aku sendiri yang menolaknya.  

Cukup lama aku berada dalam dekapannya. Kami masih saling membisu dan sama sekali tak ingin mengucapkan beberapa patah kata. Air mataku seakan tak mau berhenti mengalir, kaos berwarna abu-abu yang dipakai Taka pasti sudah sangat basah. Aku masih ingin menyembunyikan wajahku di dada Taka. Seolah mengerti, Taka pun tak melonggarkan dekapannya. Taka masih memelukku erat.

“Ta... Taka....”

Aku menyela

“Hmm...?”

 “Aku ingin jendela ini dibuka, aku ingin bernafas. Rasanya sesak sekali”

Taka melonggarkan pelukannya, tanpa bersuara Taka tidak membuka jendela mobil, namun dia malah membuka pintu mobil yang tadinya terkunci.

“Keluarlah....” Ujar Taka

“Heh ?” Aku menggumam dan meminta Taka mengulang ucapannya.

“Keluarlah dan bernafaslah sesuka hatimu.” Sahut Taka.

Aku dan Taka saling menatap,

“Baiklah....”

Kemudian aku pun keluar dari mobil, melangkah menuju sisi  jembatan yang dibawahnya adalah aliran sungai kecil  yang dangkal namun mengalir air yang  jernih. Tanganku berpegangan erat pada besi pembatas jembatan.   Aku menghirup udara yang sejuk ini dalam-dalam. Beberapa kali kuhirup udara yang seperti biasa kuhirup, namun ada perasaan lain. Rasa sesak seperti dihimpit oleh batu besar di dadaku. Aku tidak bisa bernafas dengan baik. Aku teringat Ibu dan Ayah saat masih harmonis, namun sekarang hanya kenangan semata yang terbayang di benak.

Ku angkat wajahku keatas dan memejamkan mataku. Sesaat kemudian aku membuka mata kembali dan menoleh ke arah mobil berada. Tanganku terkepal sangat kuat. Sebenarnya aku merasa bernafsu sekali untuk berteriak, tapi tak mungkin karena ada Taka yang matanya tak pernah lepas untuk mengawasi gerak-gerikku dari dalam mobil. Entah kenapa aku tidak bisa melakukan sesuatu yang biasa selalu kulakukan tanpa harus sungkan terhadap orang lain. Entah apa sebabnya.

Tak berapa lama terdengar pintu mobil ditutup, dan tiba-tiba sosok Taka hadir disampingku. Ia menyodorkan air mineral padaku.

“Minumlah, agar kau lebih tenang”

Aku menerimanya tanpa kata dan meminumnya seteguk dua teguk hingga tanpa terasa habis tak bersisa. Sepertinya energiku sangat terkuras oleh tangisanku.

“Sepertinya kau benar-benar haus...” Taka menunjukkan sudut bibirnya yang tertarik keatas, menunjukkan senyumnya terlihat di satu sisi.

Benar kata Taka, setelah minum air mineral ini hatiku sudah mulai merasa tenang kembali.

“Terimakasih..” Ucapku tulus.

“Hmm..” 

Kami berdiri berdampingan dengan jarak tak lebih dari satu meter, mata kami sama-sama terarah pada aliran sungai yang jernih di bawah jembatan. Seolah hanyut dalam gerakan air yang selalu mengalir.

Kami terdiam.

,

,

“Bolehkah aku melanjutkan kembali...?”

Taka mulai membuka suara. 

Aku tertunduk sembari memainkan jari-jariku, berpikir matang dan kemudian berkata lemah seakan tak ada tenaga, 

“Lanjutkanlah...” Ucapku

“Kau yakin?” Taka memastikan

“Aku yakin. Sangat yakin.” Ucapku pelan sambil mengangguk keras.

Kudengar Taka menghela napas lambat, Kemudian ia memulai kembali cerita yang sempat terputus di tengah-tengah..

“Ayahmu tak pernah membunuh Ibumu, Ibumu lah yang membunuh dirinya sendiri...” 

“Tapi... tapi bagaimana bisa? Aku melihat sendiri tangan ayahku berlumuran darah saat itu. Ia pasti membunuhnya...” Kilahku. Masih tak percaya.

“Manami...  Justru Ayahmu mencoba menyelamatkan nyawa Ibumu dengan mencabut pisau itu tapi naas, Ibumu tak tertolong...”

Taka memegang erat pegangan besi jembatan.

“Awal petaka adalah Ayah dan Ibumu bertengkar karena Ibumu mengetahui bahwa Ayahmu mempunyai wanita simpanan. Hingga akhirnya Ibumu nekat mengakhiri nyawanya sendiri karena merasa terkhianati.”

“Beruntung aku tak bunuh diri karena dikhianati...” Ucapku sambil tersenyum sinis.

Taka tak merespon ucapanku. Ia kembali bercerita..

“Siang itu, Ayahmu pulang dari kantor karena telepon mendesak dari Ibumu yang memaksa untuk segera pulang kerumah. Terjadilah kembali pertengkaran hebat dan dengan tiba-tiba Ibumu mengambil pisau yang ada didapur dan menusukkannya keperutnya sendiri.” 

Taka terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Ayahmu mencoba mencegah, namun terlambat. Ibumu tak tertolong karena darah sudah banyak yang keluar dari tubuhnya. Dengan panik Ayahmu berlari keluar meminta pertolongan para tetanggamu tapi mereka salah paham. Tetanggamu mengira Ayahmu lah yang membunuh Ibumu hingga akhirnya yang kau lihat saat itu Ayahmu tengah diborgol oleh polisi bukan?”

Aku mengangguk pelan.

“Aku masih tak percaya, bagaimana bisa Ayahku berkhianat pada Ibuku yang jelas-jelas mencintainya sampai mati...”

Aku mengarahkan pandanganku jauh di cakrawala.

“Apakah semua lelaki seperti itu?” Aku menggumam.

Sesuatu yang hangat menyentuh punggung telapak tanganku. Taka. 

Taka menggenggam tanganku erat.

“Tidak semua Manami, jangan kau anggap semua lelaki itu sama. Karena nyatanya tiap watak dan emosi kami para laki-laki berbeda kadarnya.”

Aku menyela,

“Lantas... Bagaimana bisa hidupku mengalami pengkhianatan seperti ini? Dua pengkhianatan dari laki-laki yang kucintai dan satu wanita yang kusayangi? Dua berbanding satu, berarti pengkhianatan terbesar dilakukan oleh kaum laki-laki...”

“Kujelaskan satu lagi, Ayahmu memang pernah mempunyai wanita simpanan. Tapi itu jauhhh sekali sebelum kau lahir, dan Ibumu memang  tidak mengetahui hal itu. Dan ketika Ayahmu tahu Ibumu mengandung kau, Ayahmu memutuskan hubungan dengan wanita simpanan nya itu. Hingga tiba-tiba wanita simpanan Ayahmu itu muncul kembali setelah belasan tahun dan membuat semuanya menjadi tragedi.”

Taka mendekat kearahku kemudian kami berdiri berhadapan,

“Ayahmu memang berbuat kesalahan. Di masa lalu tapi.. bukankah Ayahmu sudah menebus kesalahannya dan membina keluarga yang sangat harmonis bukan?”

Kutatap mata Taka saat dia berbicara, ia balas menatapku.

“Jika kau mengalami kejadian sangat buruk dimasa lalu, itu adalah takdir yang akan menuntunmu ke masa depan yang sangat indah. Yakinlah dan percayalah akan hal itu.” Ujar Taka.

“............”

Aku membisu.

Entah kenapa air mataku melesak keluar dengan sendirinya,

Greeppp

Taka meraih tubuhku lagi dan memeluk hangat.

“Menangislah Manami, dan berteriaklah jika kau ingin berteriak. Aku akan selalu ada bersamamu selama kau mau....” Taka membisikkan lagi kata-kata ajaibnya.

Tangisku semakin menjadi-jadi. Perasaan apa ini...

Siapa kau sebenarnya Taka? Kau tahu banyak tentang hidupku dan keluargaku. Kenapa kau tiba-tiba datang dan mengusik masa laluku? Walaupun begitu aku sama sekali tidak mengingatmu di masa lalu. Siapa kau?

.

.

“Boleh kutahu siapa kau sebenarnya Taka?”

.

.

.

“Aku... Aku adalah.... “


Aku adalah BERSAMBUNG.... Yeayyy....

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Akhirnya chapter VI posting juga, kurang panjang ya. Emang sih. Ya harap maklum ya dikarenakan mepetnya waktu saya ini. Hingga akhirnya Fanfic morita takahiro ini berjalan kurang mulus alias chapter berikutnya munculnya lama. hehehehe.

Tapi semoga besok-besok waktunya ga terlalu padet jadi bisa sekalian bikin efef chapter 7 secepatnya. okay...

Sebenernya ada yang minta efef Tomoya sih tapi masih ada di draft, ide buntu masih belum bisa nyelesaiin. Tar deh ya kalo udah free banget mau nyelesain ff Tomoya nya. 
Oh iya buat Cheza, efef rikuesan kamu udah nyantol dikepala nih, tinggal diketik aja. hehehe. 

NB : Ada yang mau rikues efef? inbox aja atau mention di twitter.
.
.
Sudah malam sekali saya mau tidur dulu ya, besok masih kerja.
.
.
Good Nite.
.
.
Kapan-kapan Main Lagi ya...
.
.

4 komentar:

  1. Yaaaayyy, sugeeeeeee ^___^
    Jadi gak sabar nunggu chapter berikutnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Iva !
      Salam kenal.
      Hehe, trimakasih sudah membaca.
      Chapter selanjutnya tunggu ya, mungkin besok udah publish :D

      Hapus
    2. Aseeekkkk..
      Aku panggil apa nih, mbaa, teteh, atau kakak? hoho.

      Hapus
    3. Hahahahaha, panggil apa aja boleh kok asal jangan dipanggil mas. wkwkwkwkwk
      tapi biasanya sih dipanggil mbak :D

      Hapus

Feel free to comment... silahkan....